Loading Website
Diberdayakan oleh Blogger.

Panduan Dropship

Laporkan Penyalahgunaan

Kontributor

Memahami Teknik Pembuatan Garam Rakyat dengan Tehnologi Geomembran

Permasalahan yang ada pada produksi garam rakyat saat ini  adalah kurangnya kualitas dan kuantitas  terhadap kebutuhan garam nasional seirin...

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

Cloud Hosting Indonesia

Mahir Website

Easy import From China

The Power Of Wanita Idaman

Featured

Seni Menjadi Pedagang Online

Tampilkan postingan dengan label konservasi. Tampilkan semua postingan

Mengenal Mangrove : Bruguiera exaristata Ding Hou

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Semak atau pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 10 m. Kulit kayu berwarna abu-abu tua, pangkal batang menonjol, dan memiliki sejumlah besar akar nafas berbentuk lutut.

Daun : Permukaan atas daun berwarna hitam, bagian bawah memiliki bercak-bercak, tepi daun sering tergulung ke dalam. Unit & letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 5,5-11,5 x 2,5 x4,5 cm.
Daun Bruguiera exaristata Ding Hou

Bunga : Bunga hijau-kekuningan, tepi daun mahkota memiliki rambut berwarna putih dan kemudian akan rontok. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi: soliter. Daun mahkota: 8-10; panjang 10-13 mm. Kelopak bunga: 8-10; panjang 10-15 mm.
Bunga Bruguiera exaristata Ding Hou

Buah : Hipokotil berbentuk tumpul, silindris agak menggelembung. Ukuran: Hipokotil: panjang 5-7 cm dan diameter 6-8 mm
Buah Bruguiera exaristata Ding Hou

Ekologi : Tumbuh di sepanjang jalur air atau menuju bagian belakang lokasi mangrove. Kadang-kadang ditemukan suatu kelompok yang hanya terdiri dari jenis tersebut. Substrat yang cocok adalah tanah liat dan pasir. Toleran terhadap salinitas yang tinggi. Hipokotil relatif kecil dan mudah tersebar oleh pasang surut atau banjir. Anakan tumbuh tidak baik di bawah lindungan. Bunga dan buah terdapat sepanjang tahun.

Penyebaran : Penyebaran terbatas. Diketahui dari Timor, Irian Jaya Selatan dan Australia Utara.

Kelimpahan : Cukup umum.

Manfaat : Tidak tahu.

Catatan : Pada masa lalu B. sexangula sering dikelirukan dengan jenis ini.

Sumber : Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia.2006.

Semoga Bermanfaat...

Mengenal Mangrove : Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.

Nama setempat : Pertut, taheup, tenggel, putut, tumu, tomo, kandeka, tanjang merah, tanjang, lindur, sala-sala, dau, tongke, totongkek, mutut besar, wako, bako, bangko, mangimangi, sarau.

Deskripsi umum : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai coklat warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar ke samping di bagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut.

Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (ada juga yang tidak). Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai elips-lanset. Ujung: meruncing Ukuran: 4,5-7 x 8,5-22 cm.
Daun Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.

Bunga : Bunga bergelantungan dengan panjang tangkai bunga antara 9-25 mm. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi: soliter. Daun Mahkota: 10-14; putih dan coklat jika tua, panjang 13-16 mm. Kelopak Bunga: 10-14; warna merah muda hingga merah; panjang 30-50.
Bunga Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.

Buah : Buah melingkar spiral, bundar melintang, panjang 2-2,5 cm. Hipokotil lurus, tumpul dan berwarna hijau tua keunguan. Ukuran: Hipokotil: panjang 12-30 cm dan diameter 1,5-2 cm.
Buah Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.

Ekologi : Merupakan jenis yang dominan pada hutan mangrove yang tinggi dan merupakan ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta tahap awal dalam transisi menjadi tipe vegetasi daratan. Tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan kering, serta tanah yang memiliki aerasi yang baik. Jenis ini toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Mereka juga tumbuh pada tepi daratan dari mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan payau. Ditemukan di tepi pantai hanya jika terjadi erosi pada lahan di hadapannya. Substrat-nya terdiri dari lumpur, pasir dan kadang-kadang tanah gambut hitam. Kadang-kadang juga ditemukan di pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut, hal tersebut dimungkinkan karena buahnya terbawa arus air atau gelombang pasang. Regenerasinya seringkali hanya dalam jumlah terbatas. Bunga dan buah terdapat sepanjang tahun. Bunga relatif besar, memiliki kelopak bunga berwarna kemerahan, tergantung, dan mengundang burung untuk melakukan penyerbukan.

Penyebaran : Dari Afrika Timur dan Madagaskar hingga Sri Lanka, Malaysia dan Indonesia menuju wilayah Pasifik Barat dan Australia Tropis.

Kelimpahan : Umum dan tersebar luas.

Manfaat : Bagian dalam hipokotil dimakan (manisan kandeka), dicampur dengan gula. Kayunya yang berwarna merah digunakan sebagai kayu bakar dan untuk membuat arang.

Sumber : Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia.2006.

Semoga Bermanfaat...

Mengenal Mangrove : Bruguiera hainessii C.G.Rogers

Nama setempat : Berus mata buaya.

Deskripsi umum : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 30 meter dan batang berdiameter sekitar 70 cm. Kulit kayu berwarna coklat hingga abu-abu, dengan lentisel besar berwarna coklat-kekuningan dari pangkal hingga puncak.

Pohon Bruguiera hainessii C.G. Rogers

Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan di bawahnya. U nit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 9-16 x 4-7 cm.
Daun Bruguiera hainessii C.G.Rogers

Bunga : Letak: Di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga (panjang tandan: 18-22 cm). Formasi: kelompok (2-3 bunga per tandan. Daun Mahkota: putih, panjang 7-9 mm. Berambut pada tepi bawah dan agak berambut pada bagian atas cuping. Kelopak Bunga: 10; hijau pucat; bagian bawah berbentuk tabung, panjangnya 5 mm.
Bunga Bruguiera hainessii C.G.Rogers

Buah : Hipokotil berbentuk cerutu atau agak melengkung dan menebal menuju bagian ujung. Ukuran: Hipokotil: panjang 9 cm dan diameter 1 cm.
Buah Bruguiera hainessii C.G.Rogers

Ekologi : Tumbuh di tepi daratan hutan mangrove pada areal yang relatif kering dan hanya tergenang selama beberapa jam sehari pada saat terjadi pasang tinggi.

Penyebaran : Dari India hingga Burma, Thailand, Malaysia, seluruh Indonesia dan Papua New Guinea.

Kelimpahan : Agak kurang umum.

Manfaat : Tidak tahu.

Sumber : Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia.2006.

Semoga Bermanfaat...

Hukum Adat Laot Aceh Bagian 2

Keputusan musyawarah panglima laot tentang hukum adta laot merupakan ketetapn menurut hukum yang telah terdapat sebelumnya menurut masing-masing daerah norma pada provinsi Aceh menggunakan demikian semua panglima laot se-Aceh bisa mengumumunkan kepada seluruh nelayan yang ada didaerahnya masing-masing.

Hukum istiadat bahari di Aceh merupakan aturan adat yang berlaku pada masyarakat nelayan diwilayah masing-masing. Nelayan atau pengusaha perikanan bahari didaerah melakukan bisnis penangkapan ikan pada daerah hukum norma tadi wajib tunduk dalam aturan adat yg berlaku didaerah itu (hak ulayat laut).

Panglima laot adalah forum tata cara yg keduduknanya berfungsi sebagai ketua norma bagi kehiduoan warga nelayan: (a) resolusi konflik; (b) advokasi nelayan; (c) koordinasi menggunakan aneka macam pihak, pemerintahan, & nonpemerintahan, demi kesejahteran warga nelayan pantai.

Di daerah perairan laot Aceh masih ada sejumlah aturan penankapan ikan & bagi hasil ikan. Aturan tadi tetap adalah hukum aat bag nelayan yang melakukan penangkapan didaerah itu.

Diwilayah Aceh jua dikenal beberapa hari pantang melaut, yakni sebagai berikut:

  1. Kenduri adat laot dilaksanakan selambat-lambatnya 3 tahun sekali atau tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat, dinyatakan 3 hari pantang melaut pada acera kenduri tersebut dihitung sejak keluar matahari pada hari kenduri hingga tenggelam matahari pada hari ketiga.
  2. Hari jum’at dilarang melaut selama satu hari, terhitung dari terbenamnya matahari hari kamis samapai dengan terbenamnya matahari pada hari jum’at.
  3. Hari raya idul fitri, dilatng melaut selama 4 hari terhitung sejak tebenamnya matahari pada satu hari sebelum hari raya sampai dengan terbenamnya matahari pada hari kedua hari raya.
  4. Hari raya idul Adha dilarang melaut selama 4 hari, terhitung mulai terbenamnya matahari pada satu hari sebelum hari raya sampai dengan terbenamnya matahari hari ketiga hari raya.
  5. Hari kemerdekaan 17 agustus dilarang melaut selama satu hari terhitung mulai tenggelamnya matahari pada tanggal 16 agustus sampai dengan terbenamnya matahari pada 17 agustus.
  6. Terakhir pantang melaot ditambah satu hari lagi pada tanggal 26 desember sebagai usaha untuk selalu mengingat musibah terbesar sepanjang abad, gempa yang disusul gelombang tsunami di Aceh yang terjadi pada Ahad, 26 desember 2004. Pantang laot 26 desember ini, diputuskan setelah musyawarah panglima laot se-Aceh pada 9-12 desember 2005 di Banda Aceh.

Ada empat aspek tata cara laot yg sekarng berlangsung, yakni pertama, adat sosial. Adat sosial pada operasional & kehidupan nelayan antara lain:

  1. Pada saat terjadi kerusakan kapal/perahu atau alat alat tangkap lainnya dilaut mereka memberikan suatu tanda yaitu menaikkan bendera tanda meminta bantuan (SOS), bagi perahu yang melihat aba-aba terseburt langsunf datang mendekati dan memberi bantuan. (b) jika terjadi musibah nelayan tenngelam dilaut, seluruh perahu mencari mayat dilaut, perhai tersebut berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut kedaratan.
  2. Kedua, adat pemeliharaan lingkungan yang mencakup: (a) dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan terumbu karang dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup ikan dan biota lainnya, (b) dilarang menebang-merusak poho-pohon kayu dipesisir panatai laut seperti pohon arun/cemara,, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup di pantai, (c) dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumba, penyu dan lain sebagainya)
  3. Ketiga adat kenduri laut. Adat kenduri laut dimasing-masing lhok dan kabupaten/kota dalam provinsi Aceh mempunyai ciri sendiri dan bervariasi satu dengan lainnya, menurut keadaan masing-masing daerah, dan tetap mempertahankan nilai-nilai islami.
  4. Keempat adat barang hanyut. Setiap barang (perahu, perahu panglong dll) yang hanyut dilaut dan ditemukan oleh seorang nelayan, harus diserahkan kepada panglima laot setempat untuk pengurusan selanjutnya.

Untuk keberlangsugan tata cara tersebut jua ada hukuman hukumnya. Bagi nelayan yang melanggar ketentuan akan dikenakan tindakan aturan, berupa: (a) semua output tnagkapannya disita, (b) tidak boleh melaut minimun selam 3 hari & selama-lamanya 7 hari.

Apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap tindakan hukum yang sudah ditetapkan, maka forum hukom istiadat laot akan merogoh tindakan administratif melalui pejabat yg berwenang sesudah terlebih dahulu bermusyawarah menggunakan staf forum aturan istiadat laot.

Diseluruh Aceh tercata terdapat 146 lhok yang masing-masing dipimpin panglima laot lhok. Seiring dengan kebutuhan masing-masing dan makin luasnya jangkauan wilayah, para panglima laot kemudian menciptakan organisasi ditingkat kecamatan, kabupaten, & provinsi.

Pembentukan panglima laot diwilayah provinsi, pernah mendapat kritikan dari beberapa kalangan pemerhati adat. Kritikan bahkan protes ini lahir karena dalam sejarahnya panglima laot ini hanya ada di Lhok. Masalahnya, bagaimana dengan kepentingan yang lintas lhok atau lintas kabupaten dan kota. Ketika masalah ditangkapnya banyak nelayan Aceh diluar negeru, tentu peran ini tak bisa dilaksanakan oleh panglima laot lhok. Yang lebih penting lagi, lembaga ini diputuskan oleh panglima laot dan para pelaku dan pemerhati adat, bukan sebagai top down tapi buttom up.

Dalam satu daerah lhok, dimana nelayan berpangkalan dan rakyat nelayan bertempat tinggal, dipimpin sang seseorang panglima laot. Wilayah lhok yg dimaksud adalah suatu wilayah pesisir pantai atau nelayan dimana nelayan berdomisili & melakukan penangkapan ikan. Wilayah tadi dapat berorientasi buat satu gampong pantai, beberapa gampong (satu kemukiman), kecamatan, atau satu kepulauan misalnya halnya pulo Aceh.

Sumber Hukum Adat Laot Aceh

Semoga Bermanfaat...

Kearifan Lokal dalam Mengelola Laut dan Pesisir di Indonesia

Pengelolaan sumberdaya pesisir & laut melalui penguatan kearifan lokal merupakan suatu kegiatan atau aktifitas stakeholders dalam memanfaatkan segala yang terdapat pada pesisir & bahari, khususnya sumberdaya ikan, terumbu karang, dan mangrove menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan buat kesejahteraan hayati insan. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pula mencakup aspek upaya atau bisnis stakeholders dalam mengganti ekosistem pesisir dan bahari buat memperoleh manfaat aporisma dengan mengupayakan transedental produksi & mengklaim kelestarian sumberdaya tadi.

Aspek kearifan lokal pada pengelolaan sumberdaya pesisir & laut tadi termanifestasikan dalam kegiatan atau kegiatan yang ramah lingkungan karena kearifan lokal itu sendiri merupakan berbagai gagasan berupa pengetahuan dan pemahaman rakyat setempat terkait interaksi insan dengan alam pada mengelola sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, & bernilai baik. Kearifan lokal pula menyangkut keyakinan, budaya, norma kebiasaan & etika yang baik tentang interaksi manusia menggunakan alam (sumberdaya pesisir & laut) menjadi suatu komunitas ekologis.

Berikut adalah model Kearifan Lokal Dalam Mengelola Laut dan Pesisir pada Indonesia :

1. Hukum Adat Laot Di Aceh

Hukum norma laut pada Aceh merupakan aturan adat yang berlaku pada masyarakat nelayan diwilayah masing-masing. Nelayan atau pengusaha perikanan bahari didaerah melakukan bisnis penangkapan ikan pada daerah hukum norma tadi wajib tunduk dalam aturan norma yang berlaku didaerah itu (hak ulayat bahari). Selengkapnya silahkan baca :

a.Hukum Adat Laot Aceh Bagian 1

b.Hukum Adat Laot Aceh Bagian 2.
Logo Lembaga Hukum Adat Laut

dua. Tradisi Lilifuk Di Nusa Tenggara Timur

Kata lilifuk dari berdasarkan Bahasa Dawan (Bahasa Suku Timor), yaitu kata ?Nifu? Yg merupakan kolam. Dinamai demikian karena sesungguhnya lilifuk adalah suatu cekungan di permukaan dasar perairan pantai yang digenangi air dalam saat surut tertinggi. Selengkapnya silahkan baca :

a. Hukum Adat Lilifuk Di Nusa Tenggara Timur

b. Nilai - Nilai Yang Terkandung Pada Hukum Adat Lilifuk

c. Tahapan Penyelesaian Masalah atau Perkara Adat Dalah Hukum Adat Lilifuk
Persiapan Tradisi Lilifuk

tiga. Tradisi Awig - Awig Di Nusa Tenggara Barat

Awig-awig merupakan anggaran yg dibentuk menurut konvensi rakyat buat mengatur kasus tertentu dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan pada kehidupan rakyat. Awig-awig ini mengatur perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh, hukuman serta orang atau lembaga yg diberi wewenang oleh rakyat untuk menjatuhkan saksi. Selengkapnya silahkan baca :

a. Hukum Adat Awig - Awig Di Nusa Tenggara Barat

b. Peran Awig - Awig Bagi Masyarakat
Tradisi Awig - Awig Banyak Diterapkan di Daerah Bali dan Nusa Tenggara Barat

4. Tradisi Hadingmulung Di Nusa Tenggara Timur

Hadingmulung merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat hukum adat Kerajaan Baranusa dalam melakukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan melakukan sistem pengaturan pemanfaatan yang diatur secara berkala. Selengkapnya silahkan baca Hadingmulung, Kearifan Lokal di Perairan Alor Nusa Tenggara Timur.
Kondisi Alam Yang Terjaga Melalui Penerapan Tradisi Hadingmulung

lima. Tradisi Mane'e Di Sulawesi Utara

Tradisi mane’e merupakan tradisi upacara adat masyarakat pesisir kepulauan talaud, yang berisi kegiatan menangkap ikan secara tradisional yang dilakukan setahun sekali pada waktu yang telah di tentukan. Selengkapnya silahkan baca Tradisi Mane'e Di Sulawesi Utara .
Tradisi Mane'e

6. Tradisi Sasi Di Maluku

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Selengkapnya silahkan baca Hukum Adat Sasi Di Maluku.
Tradisi Sasi di Maluku

7. Tradisi Bameti dan Balobe Di Maluku Tengah

Kegiatan bameti dilakukan hampir pada semua negeri di pulau Saparua, apalagi pada negeri-negeri yang memiliki hamparan pantai yang luas. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat air meti (air surut) dan lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan dan biasanya pada saat musim timur di mana ikan banyak dan gelombang besar. Selengkapnya silahkan baca Tradisi Bameti dan Balobe Di Maluku Tengah .
Penggunaan Tombak Pada Tradisi Bameti dan Balobe

8. Tradisi Huhate di Nusa Tenggara Timur

Huhate sebenarnya mirip seperti joran yang dipakai kebanyakan nelayan, namun masih sangat tradisional. Tangkai pancingnya menggunakan bambu khusus yang lentur, kemudian kail yang tidak berkait diikat pada seutas tali. Pada kail Huhate biasanya diberi bulu ayam atau potongan tali rafia sehingga menyamarkannya dari penglihatan ikan. Tak lupa diberi pemberat untuk memudahkan pemancing mengarahkan kailnya ke laut. Apabila tidak menggunakan pemberat, kemungkinan besar kail akan melayang tak karuan karena angin. Selengkapnya silahkan baca Tradisi Menangkap Ikan Dengan Teknik Huhate Di Larantuka .
Penangkapan Ikan Menggunakan Alat Tangkap Huhate

9. Tradisi Petik Laut Di Banyuwangi

Sebagai wujud rasa syukur dan juga hormat kepada alam, beberapa warga di Indonesia kerap melakukan tradisi sesaji kepada laut. Pada bulan-bulan tertentu nelayan atau penduduk di pesisir pantai melakukan larung sesaji ke lautan. Salah satu tradisi larung sesaji yang cukup terkenal di Indonesia adalah Petik Laut. Selengkapnya silahkan baca Tradisi Petik Laut Di Banyuwangi .
Tradisi Petik Laut Di Banyuwangi

Diolah dari banyak sekali asal

Semoga Bermanfaat...

Hukum Adat Laot Aceh Bagian 1

Dalam warga Aceh, terdapat pengelompokan penting pada pembagian dan pengaturan kekuasaan norma yang jelas pada suatu wilayah.

Pertama : Panglima Laot . Lembaga hukum adat laot/panglima laot merupakan suatu lembaga yang memimpin adat dan kebiasaan yang berlak dibidang penangkapan ikan dilaut, termasuk dalam hal mengatur tempat (areal) penangkapan, penambatan perahu dan penyelesain sengketa bagi hasil. Pada dasarnya panglima laot merupakan tugas pokok dalam menjaga persatuan dan kesatuan kaum nelayan, dan tugas ini tidaklah mudah mengingat perilaku nelayan kadang kala menyerupai ganasnya laut (dalam penelitian hakim disebutkan nelayan sedikit tempramen. Hakim Nya’pha (1980) memberi catatan bahwa panglima laot harus mampu dan arif dalam bertindak.

Lembaga ini pula bertugas menegakkan aturan tata cara dan memberi hukuman berupa hukuman & melaksanakan kenduri bagi nelayan diwilayahnya yg melanggar aturan berupa serangan-agresi lantaran suatu hal. Disamping itu panglima laut jua mempunyai wewenang dibidang adat kelautan dalam hal mengurus dan mengatur batas wilayah lautan yang dapat buat dilayari dan dapat dipunguti output.

Kedua, Keujreun Blang . Keujreun blang berkaitan dengan kegiatan bersawah, figur  yang menjadi keujreun blang pun biasanya berasal dari petani yang tekun dan disiplin. Biasanya untuk dapat menduduki jabatan fungsionaris lembaga keujreun blang harus memenuhi syarat-syarat, selain hasil pemilihan dan persetujuan pejabat setempat, yakni (1) berpengalam dalam bidang kemasyarakatan, (2) menguasai hukum pertanian, (3) memahami keuneunong. Disamping itu keujreun blang dalam hal lain bersama para pimpinan adat lainnya berwenang mengadili dan memberi sanksi pada pelanggaran hukum adat dibidang pertanian, baik itu pada prosesi pelaksanaan itu sendiri, maupun dalam hal-hal lain yang berkaitan lansung dengan pelaksanaan adat istiadat pertanian.

Ketiga Lembaga Petuah Seneubok , yang merupakan salah satu lembaga yang memimpin dan mengatur tentang pembukaan lahan (hutan) untuk pertanian dan perkebunan. Lembaga ini berwenang dalam mengatur dan mengatur proses pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat adat sehingga setiap masyarkat akan memperoleh hak yang sam dalam pembukaan hutan. Lembaga ini menjadi lambaga yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakat adat yang ingin membuka ladang untuk pertanian karena lembaga ini dapat memberi sanksi bagi yang melanggarnya.

Bidang perburuan pun sebagai bagian dari eksistensi hutan, para pemburu wajib mematuhi tata cara gle yang diatur forum seunebok. Dalam norma Aceh, lembaga seunebok mengatur perkara perburuan buat kelestarian alam dan lingkungan hutan, baik dengan menentukan hewan (berdasarkan jenis & usia) yg boleh diburu, juga dalam hal perilaku pemburu yg tidak boleh seenaknya membakar hutan ketika memburu, karena bisa Mengganggu hutan (alam) dan merugikan.

Seperti halnya pada proses turun kesawah, kenduri jua dikenal dalam forum seunebok ini, umumnya dilakukan sebelum atau selesainya membuka lahan kawasan seunebok & sehabis panen. Pada waktu-ketika eksklusif jua diadakan dalam ketika flora mulai berbungan dengan makna religius yg sangat pada.

Melihat tata cara laot Aceh, kita kemudian perlu melihat pasal 7 UU Nomor 44 tahun 1999, yang menjelaskan bahwa daerah dapat membangun lembaga tata cara dan mengakui forum-lambaga istiadat dan mengakui forum-forum norma yang telah terdapat sinkron menggunakan kedudukannya masing-masing diprovinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kemukiman, & kelurahan/desa atau gampong.

Diperjelas lagi menggunakan pasal 1 ayat (5) Peraturan Daerah nomor 7 tahun 200, menegaskan: ?Lembaga norma sesuatu organisasi kemasyarakatan adar yg dibentik sang suatu masyarakat hukum tata cara eksklusif, memiliki daerah eksklusif & harta kekayaan sendiri serta berhak & berwenang buat mengatur & mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan menggunakan istiadat Aceh.

Pemimpin aturan istiadat laut pada rakyat Aceh diklaim panglima laot atau abu laot. Pengangkatannya dilakukan melalui suatu pemilihan dalam musyawarah. Jabatan ini bersifat profesional. Calon yang dipilih berdasarkan kalangan pawang laot, yang tentu sangat berpengalaman pada bidang kelautan.

Utuk menjadi panglima laot wajib mengerti masalah-perkara tata cara laot, cara menangkap ikan, arif dan bijaksana, dan berwibawa. Tugas & tanggung jawab panglima laot menggambarkan bahwa relatif berat & penuh resiko. Apalagi dalam melaksanakan tugas tadi, wajib berhadapan dengan para nelayan, para pawang, atau para mereka yang umumnya beremosial tinggi. Semetara, buat melaksanakan itu, mereka mendapatkan imbalan yg tidak seberapa. Namun, suasana yg berwibawa membuat jabatan ini dihormati.

Dalam pengaturan aturan, pasal 1 ayat (14) perda angka 7 tahun 2000 disebutkan: ?Forum panglima laut merupakan suatu forum yang berlaku dibidang penangkapan ikan dilaut, termasuk pada hal mengatur tempat (areal) penangkapan, penambatan perahu & penyelesain konkurensi?

Sebagai lemabaga hukum norma, panglima laot yg dikenal turun temurun sang masyarakat Aceh, mempunyai peran yg sangat strategis dalam bidang kelautan. Masalah telah jua secara tegas diatur pada UU nomor 22 tahun 1999, UU angka 44 tahun 1999, UU nomor 18 Tahun 2001, & perda angka 7 tahun 2000.

Jadi secara eksplisit tak terdapat alasan tata cara laot pada Aceh nir mampu dilaksanakan, lantaran hal ini telah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Satu hal lagi yang menjadi keunggulan hukum norma laot, dimana rakyat patuh pada aturan adat bahari, lantaran aturan tersebut mereka sepakati sendiri. Penyelesainnya pun dilakukan sang lembaga sendiri secara musyawarah dan kekeluargaan.

Sumber : Hukum Adat Laot Aceh

Semoga Bermanfaat...

Hukum adat Lilifuk di Nusa Tenggara Timur

Wilayah pesisir Teluk Kupang mengalami peningkatan kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan sang pihak swasta maupun rakyat kurang lebih. Banyaknya aktivitas pembangunan ini menaruh imbas jelek bagi lingkungan pesisir karena pembangunan yang dilakukan masih pada penguasaan oleh kepentingan ekonomi menggunakan mengesampingkan keberlanjutan lingkungan pesisir & asal daya alamnya. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir saja wilayah ini sudah mengalami perubahan yang signifikan menggunakan didirikannya bangunan-bangunan perhotelan & industri, baik itu pertokoan juga restaurant. Bangunan-bangunan tadi didirikan sempurna di daerah pesisir sebagai akibatnya mengakibatkan reklamasi pantai. Selain itu aktivitas menurut rakyat lebih kurang wilayah pesisir pula memberikan sumbangan besar terhadap kerusakan lingkungan pada wilayah pesisir. Salah satu aktivitas tersebut merupakan kegiatan penangkapan ikan yg tidak ramah lingkungan.

Pengelolaan wilayah pesisir membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah maupun pihak swasta termasuk masyarakat, terkhusus masyarakat pesisir memiliki peran yang besar sebagai pihak yang paling dekat dengan wilayah pesisir itu sendiri. Masyarakat pesisir dapat memberikan dukungan nyata terhadap pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Masyarakat di wilayah pesisir Teluk Kupang memiliki hukum adat yang dapat mendukung keberlangsungan dari sumber daya alam di wilayah pesisir yakni hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) yang berlaku di wilayah pesisir Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Perairan laut Desa Kuanheun yang juga merupakan bagian dari Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu.

Hukum tata cara lilifuk adalah suatu budaya penangkapan ikan dengan indera dan cara yg ramah lingkungan menggunakan memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir dan pula keberlangsungan biota yang ada.

Ketetapan Pada Hukum Adat Lilifuk

Kata lilifuk berasal dari Bahasa Dawan (Bahasa Suku Timor), yaitu kata “nifu” yang artinya kolam. Dinamai demikian karena sesungguhnya lilifuk merupakan suatu cekungan di permukaan dasar perairan pantai yang digenangi air pada saat surut tertinggi. Daerah cekungan ini akan menyerupai kolam yang besar dengan kedalaman maksimum 5 (lima) meter dan luasnya mencapai ± 20.000 (dua puluh ribu) m2. Ketika air laut surut, lilifuk akan dipenuhi dengan berbagai biota laut yang terjebak di dalamnya, seperti: ikan lada dan ikan dusung sertai ditumbuhi beberapa jenis tanaman rumput laut. Ketetapan mengenai pengelolaan lilifuk dibuat oleh Suku Baineo sebagai tuan tanah (pah tuaf) atau pemilik dari lilifuk. Adapun hal-hal yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

  1. Panen lilifuk dilakukan setahun sekali pada bulan Desember yang dikenal dengan istilah “tut nifu”.
  2. Ketika akan melakukan panen, diwajibkan untuk mengundang seluruh masyarakat desa dan desa-desa tetangga.
  3. Setiap orang dilarang untuk memasuki atau mengambil biota laut di wilayah lilifuk di luar dari waktu panen yang ditetapkan.
  4. Pada saat panen, setiap orang wajib menggunakan alat penangkapan ikan yang tidak merusak lilifuk.
  5. Setiap orang yang mengikuti panen diwajibkan untuk memberikan upeti kepada Suku Baineo berupa beberapa ekor ikan dari hasil tangkapannya. Pemberian upeti ini dikenal dengan istilah “tanaib ika” yang artinya ”memotong hasil ikan”.
  6. Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketetapan Suku Baineo dikenakan sanksi adat, yakni denda (opat) berupa seekor babi (fafi).

Eksistensi Hukum Adat Lilifuk pada Menyelesaikan Masalah Perusakan Lingkungan Pesisir Teluk Kupang

Hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) mengenal beberapa larangan sebagai berikut:

  1. Dilarang mengunakan alat tangkap yang merusak lilifuk (kais taleu talas);
  2. Dilarang melakukan penangkapan ikan di lilifuk jika bukan waktunya (at panen an mui oras);
  3. Dilarang mengambil penyu (kaisat het hek ke);
  4. Dilarang mengambil pasir dan batu laut (kais taitis snaen);
  5. Dilarang mencemari laut (kais taleu tasi);
  6. Dilarang merusak tempat pengeringan garam (kais taleu atoni in masi).

Nilai - Nilai Dalam Hukum Adat Lilifuk, selengkapnya silahkan baca dalam artikel disini

Tahapan Penyelesaian Masalah Atau Perkara Adat, selengkapnya silahkan baca pada artikel disini

Sumber : Ranny Unbanunaek. Penerapan Hukum Adat Lilifuk terhadap Perusakan Lingkungan

Pesisir Teluk Kupang.

Semoga Bermanfaat...

Nilai - Nilai yang terkandung Pada Hukum Adat Lilifuk

Ada 7 (tujuh) nilai dalam hukum tata cara lilifuk, pada antaranya:

1. Nilai Religius

Masyarakat Kuanheun percaya akan adanya kekuatan yang menguasai laut yang disebut dengan Raja Laut (Uis Tasi). Hal ini dapat ditemukan dalam mitos-mitos yang dipercayai, yakni apabila seseorang melakukan pelanggaran hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk), seperti menangkap ikan sebelum waktunya, maka orang tersebut dipercaya akan mendapat sial. Hal ini dikarenakan ada keyakinan bahwa lilifuk dijaga oleh sesuatu yang memiliki kekuatan gaib (supernatural power).

2. Nilai Ekologi

Hukum tata cara lilifuk mengatur bahwa pada melakukan penangkapan ikan pada lilifuk, setiap orang wajib menggunakan alat tangkap yg tidak merusak lilifuk yang dalam ungkapan adatnya: ?Het ika at paek at pake bale le kana leu tasi? Adalah menangkap ikan memakai alat yang tidak merusak bahari.

Norma-norma dalam hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk)  bertujuan untuk menjamin keberlangsungan sumber daya laut agar dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal, serta mendapat perlindungan dari ancaman perusakan, pemusnahan, dan pencemaran dari berbagai kegiatan atau perilaku manusia yang mengabaikan kelestarian sumber daya pesisir. Hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) ditujukan untuk menjaga lingkungan pesisir mereka.

3. Nilai Komunal

Sebagai tuan tanah (pah tuaf) dari lilifuk, tidak membuat Suku Baineo memiliki lilifuk secara mutlak. Suku Baineo berkuasa terhadap pengelolaan lilifuk, namun hasil dan manfaat dari lilifuk tetap menjadi milik dari setiap warga Desa Kuanheun.

Sekalipun Suku Baineo memiliki interaksi yg bertenaga dengan lilifuk menjadi pemilik tanah namun hal tersebut nir melemahkan nilai kepemilikan bersama atas manfaat lilifuk. Selain itu, dalam merampungkan setiap pelanggaran lilifuk pun wajib dilakukan secara musyawarah dan konsensus menggunakan melibatkan berbagai pihak & rakyat.

4. Nilai Relasi Sosial

Hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) memberikan gambaran mengenai bagaimana manusia seharusnya membangun relasi sosial yang baik, harmonis, seimbang, serasi dan selaras baik antara manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungannya.

Hukum ini berusaha untuk menciptakan jalinan hubungan yang baik antar masyarakat melaluipemberian undangan untuk panen dan musyawarah yang dilakukan dalam menyelesaikan segala permasalahan. Tidak hanya relasi antar manusia, hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) juga berupaya untuk menciptakan relasi yang baik antar manusia dengan lingkungan dengan cara menjaga dan berusaha melestarikannya. Ada kesadaran bahwa lingkungan sebagai bagian dari hidup mereka yang bersama-sama memiliki keterikatan satu sama lain yang harus selalu dipertahankan.

5. Nilai Solidaritas & Tanggungjawab

Upaya perlindungan yang dilakukan melalui aturan tata cara lilifuk menunjukan adanya rasa tanggung jawab dan solidaritas menurut masyarakat Kuanheun terhadap keberlangsungan hidup biota laut dan kelestarian lingkungan. Masyarakat merasa bertanggungjawab untuk menjasa kelangsungan hidup biota bahari dengan menjaganya supaya nir punah dan terancam hidupnya sang tindakan serakah insan.

Melalui upaya penangkapan ikan yg ramah lingkungan & tidak Mengganggu lingkungan lilifuk, rakyat sudah menaruh perhatian terhadap kehidupan laut menggunakan berusaha membangun lingkungan yang baik bagi perkembangbiakan biota bahari agar dapat terus lestari. Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.

6. Nilai Kepemimpinan Sosial

Pengakuan dan penghargaan terhadap eksistensi pemimpin adat terdapat dalam hukum tata cara lilifuk. Pemimpin istiadat, misalnya lembaga istiadat (amnais alat), kepala desa (temukung), tuan tanah (pah tuaf), dan amnasit memiliki peran sentral pada penyelesaian perkara & ritual-ritual istiadat. Masyarakat memberikan ketaatan terhadap keputusan yg dibuat oleh pemimpin adat.

Setiap keputusan yang dibuat oleh seorang pemimpin akan diikuti oleh masyarakat sebagai sesuatu yang benar. Peran dan tugas yang dilakukan oleh pemimpin mereka telah membangun rasa kepemimpinan di dalam masyarakat. Nilai kepemimpinan ini juga terlihat dari sikap masyarakat yang jika ingin melakukan sesuatu di wilayah tuan tanah, maka akan meminta izin kepada tuan tanah sebagai pemimpin mereka dalam ungkapan (“a etun auf tuaf” artinya “kasih tahu tuan tanah”)

7. Nilai Pendidikan

Hukum tata cara lilifuk (atolan indera lilifuk) menjadi wahana pembelajaran banyak hal, baik mengenai ekologi, komunal (kebersamaan), solidaritas & tanggung jawab, relasi sosial maupun tentang kepemimpinan sosial.

Hukum istiadat lilifuk (atolan indera lilifuk) mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan & bagaimana seharusnya manusia menjalin hubungan yang baik & serasi menggunakan sesama dan lingkungan.

Sumber : Ranny Unbanunaek. Penerapan Hukum Adat Lilifuk terhadap Perusakan Lingkungan Pesisir Teluk Kupang

Semoga Bermanfaat...

Hukum Adat Awig - Awig Di Nusa Tenggara Barat

Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut & pesisir dengan kewenangan pengelolaan masyarakat norma mulai menjadi perhatian dan kepentingan menurut pemerintah dan penghasil kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif menurut warga & dorongan global internasional mulai bermunculan buat mendukung masyarakat nelayan walaupun aturan nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan, & instrumen aturan lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya bahari & pesisir belum masih ada di Indonesia.

Namun pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat, walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi. Salah satu keraifan lokal yang sangat menarik untuk di bahas yaitu kearifan lokal masyarakat Lombok Barat Provinsi NTB yang disebut dengan ‘ Awig-awig ”.

PENGERTIAN AWIG - AWIG

Awig-awig adalah aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Awig-awig ini mengatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan saksi.

Munculnya awig-awig yang berlaku di wilayah Lombok semakin kuat seiring dengan hadirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Seperti aturan-aturan lokal lainnya, di era sentralistik banyak sekali praktik-praktik tradisional pengelolaan perikanan yang mengalami kematian akibat homogenisasi hukum dan pemonopolian pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat. Akibatnya, keberadaan aturan-aturan lokal (hak ulayat) yang selama ini berlaku di masyarakat secara turun-menurun menjadi tidak lagi berfungsi dan mengalami degradasi, sehingga masyarakat yang merasa tidak dihargai oleh pemerintah banyak melakukan pembangkangan-pembangkangan terhadap hukum formal. Memudarnya kepercayaan masyarakat dan terjadinya pembangkangan terhadap hukum formal disebabkan oleh pemerintah itu sendiri yang tidak menegakkan hukum secara tegas.

LATAR BELAKANG MUNCULNYA AWIG - AWIG

Sementara itu adanya penguatan awig-awig pada pengelolaan perikanan di daerah ini ditentukan sang masalah utama yaitu pertarungan. Adapun munculnya permasalahan dalam kegiatan pemanfaatan asal daya ikan ditentukan oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencarian), lingkungan politik sah, perubahan teknologi dan perubahan taraf komersialisasi (pasar).

Dengan melihat faktor-faktor yg menyebabkan konflik pada wilayah pesisir, rakyat Lombok Barat merasa terpanggil dan menyadari buat mengadakan pemugaran sistem pengelolaan asal daya. Oleh karenanya, dibentuklah awig-awig secara tertulis sebagai anggaran main pada pengelolaan perikanan demi membentuk pembangunan pesisir yg berkelanjutan. Kekuatan awig-awig yg mengatur sistem pengelolaan beserta tersebut merupakan suatu kesadaran kolektif dari masyarakat. Peran masyarakat nelayan dalam pembentukan awig-awig sangat besar dibandingkan pemerintah.

Semakin menurunnya output tangkapan ikan dampak aktifitas penggunaan indera tangkap yang nir ramah lingkungan, maka rakyat nelayan menghendaki suatu aturan yg tegas pada pengelolaan asal daya pesisir & bahari, sebagai akibatnya dapat membentuk kelestarian sumber daya & peningkatan penghasilan rakyat nelayan. Pertarunga-konflik yg kerap muncul & menjadi bahan perbincangan rakyat nelayan tersebut, langsung disikapi oleh pihak pimpinan kelompok buat ditindaklanjuti pada tingkat skala kecil yaitu dengan cara menyelenggarakan diskusi kelompok nelayan. Sehingga dalam pembentukan awig awik berawal dari tahap informal yaitu berawal berdasarkan omongan omongan, kemudian berlanjut dalam termin musyawarah antar rakyat sampai terbentuk sebuah konvensi buat menciptakan aturan & diperkuat dengan campur tangan pemerintah darah dalam bentuk peraturan daerah.

Sumber : Awig-awig” Kearifan Lokal masyarakat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan untuk melestarikan Ekositem Laut

Semoga Bermanfaat...

Tahapan Penyelesaian Masalah Atau Perkara Adat Dalam hukum Adat Lilifuk

Ada tahapan tertentu yg harus ditempuh pada merogoh tindakan konkrit untuk memperbaiki aturan yang sudah dilanggar itu pelanggaran tata cara. Tahapan penyelesaian masalah atau kasus tata cara disebut menggunakan ator sinlasi yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pelaporan (Mu ota lasi atau tatek oko mama)

Apabila terjadi kasus atau pelanggaran istiadat, pertama-tama akan dilaporkan mengenai masalah atau pelanggaran tadi kepada ketua desa (temukung), forum adat (amnais alat), ketua suku Baineo ataupun amnasit.

Penyampaian laporan dapat dilakukan oleh korban, pelaku (asanat) maupun orang lain. Proses pelaporan ini dikenal dengan istilah “mu ota lasi” yang artinya “menceritakan masalah/pelanggaran”. Proses ini juga dapat disebut dengan istilah “tatek oko mama” yang artinya “membawa/mendudukkan tempat sirih” apabila yang melaporkan masalah atau pelanggaran adat tersebut adalah pelaku itu sendiri. Hal ini disebabkan pada saat melapor, pelaku akan mengakui kesalahannya dan langsung meminta maaf yang dilambangkan dengan membawa tempat sirih (oko mama).

2. Perundingan (Tok ta bua)

Setelah menerima laporan dari pelapor, maka semua pihak terkait akan melakukan perundingan yang disebut dengan istilah ”tok ta bua” yang artinya “duduk bersama”.

Dalam perundingan tadi, mereka akan melakukan musyawarah buat memilih hukuman istiadat yg akan dijatuhkan kepada pelaku dengan mendengarkan kesaksian jika terdapat pihak lain yang sebagai saksi perkara atau pelanggaran tersebut. Dalam penentuan sanksi, setiap pihak yg berunding akan memperhatikan kemampuan menurut pelaku, apakah pelaku dapat memenuhi sanksi istiadat yg diberikan atau tidak.

3. Putusan (Tafek lasi)

Setelah putusan hukuman adat sudah ditetapkan pada perundingan , maka akan disampaikan pada pelaku tentang putusan hukuman yang akan diterimanya yg akan didahului menggunakan anugerah nasehat dan pedoman hidup sang galat satu pihak yang sudah ditunjuk.

Setelah memberikan nasehat kepada pelaku, maka akan disampaikan putusan mengenai sanksi adat yang diberikan. Dalam hukum adat, sanksi adat yang biasa dijatuhkan adalah sanksi denda (opat).

4. Eksekusi putusan (Ta naoba fekat)

Pelaksaan putusan ini akan didahului oleh penyembelihan hewan denda yang dibawa oleh pelaku. Hewan yang telah disembelih akan dimasak dan kemudian dinikmati bersama oleh lembaga adat (amnais alat), kepala desa (temukung), amnasit, pelaku (asanat), dan juga masyarakat (toh).

Proses makan beserta ini jua menjadi lambang bahwa pengikatan diri terhadap ketetapan aturan norma, terutama bagi pelaku buat balik mengikatkan dirinya pada aturan istiadat yg telah dilanggarnya sebagai akibatnya pada kemudian hari nir lagi melakukan pelanggaran. Proses ini jua akan membersihkan diri pelaku atas dampak (kesialan) & kesalahan yg sudah dilakukannya waktu melanggar hukum adat serta memperbaiki hubungannya dengan masyarakat pasca pelanngarannya.

Sumber : Ranny Unbanunaek. Penerapan Hukum Adat Lilifuk terhadap Perusakan Lingkungan Pesisir Teluk Kupang

Semoga Bermanfaat...

Hadingmulung, Kearifan Lokal Di Perairan Alor Nusa Tenggara Timur

Pengelolaan sumberdaya bahari selalu mendapatkan tekanan ancaman berdasarkan banyak sekali hal. Penggunaan alat tangkap yg nir ramah lingkungan seperti pukat , bom & potasium; pola supervisi bahari yang kurang optimal; serta tingkat kesadaran & kepatuhan rakyat buat menjaga sumberdaya pesisir & bahari sebagai beberapa model. Sebagai pengguna sumberdaya primer dan pertama, masyarakat lokal menjadi keliru satu kunci dalam pengelolaan sumberdaya pesisir & laut.

Pada jaman dahulu, wilayah pesisir dan laut dicermati menjadi potensi kerajaan Baranusa yg sekarang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor. Potensi ini menjadi sumber pangan dan penghidupan warga kurang lebih. Maka dari itu, dewan tata cara beserta Raja Baranusa sepakat buat melindungi wilayah perairan Pulau Batang & Lapang yg menjadi penyedia sumberdaya pesisir & laut yg utama menggunakan melakukan Hadingmulung.

Hadingmulung merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat hukum adat Kerajaan Baranusa dalam melakukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan melakukan sistem pengaturan pemanfaatan yang diatur secara berkala .

Dalam kurun waktu tertentu yang telah disepakati antara dewan adat dan Raja, wilayah Hadingmulung akan ditutup sementara waktu untuk tidak dilakukan aktifitas pemanfaatan hingga waktu yang telah ditentukan untuk dapat dimanfaatkan kembali secara bersama. Hadingmulung ini berfungsi menjaga keberlanjutan stok biota laut yang ada di perairan Pulau Batang dan Lapang. Selain itu, digunakan juga sebagai alat membangun hubungan kekerabatan antar wilayah, ketika proses buka hadingmulung (mengambil hasil sumberdaya laut), masyarakat di luar kerajaan Baranusa juga dipersilahkan untuk mengambil sumberdaya laut tersebut.  Keberadaan Hadingmulung ini mulai meluntur dari tahun ke tahun, bahkan cenderung hilang. Terutama setelah tahun 1977. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah masuknya partai politik, ledakan jumlah penduduk dan era modernisasi yang mendorong masyarakat berfikir praktis dan cepat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut.

Dalam kondisi tersebut, keberlangsungan ekosistem beserta biota bahari sebagai terancam. Daerah tangkapan nelayan semakin jauh, populasi ikan semakin menurun, terumbu karang menjadi tempat tinggal ikan juga turut menjadi rusak. Masyarakat berpendapat bahwa daerah pengelolaan laut dengan anggaran aturan tata cara masih sanggup berperan krusial pulang dalam menjaga sumberdaya bahari sekaligus menjaga tradisi budaya tata cara yang terdapat semenjak jaman dahulu di Kerajaan Baranusa. Hal ini sebagai semacam penegas identitas warga istiadat pada daerah tadi.

Sumber : Hadingmulung, Sebuah Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut di Perairan Alor

Semoga Bermanfaat...

Peran Awig - Awig Bagi Masyarakat

Dalam proses pembentukan awig-awig poly mengadopsi anggaran-aturan lokal sebagai akibatnya dalam pelaksanaannya mempunyai variabel utama yg hampir sama dengan hak ulayat laut, yaitu wilayah, unit sosial pemegang hak dan legalitas beserta pelaksanaanya. Bahkan lebih menurut pada itu, terbentuknya awig - awig diilhami sang kegiatan upacara adat menyawen sehingga pada pembentukan hingga pelaksanaan masih dipengaruhi sang unsur-unsur sosial budaya rakyat setempat.

Kegiatan penangkapan ikan pada wilayah awig-awig bersifat individual. Artinya, setiap orang berhak buat melakukan aktivitas penangkapan asalkan indera-indera yg dipakai sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada zona awig-awig. Sementara buat nelayan luar yg melakukan penangkapan harus mempunyai biar dari Dinas Kelautan Perikanan Lombok Barat. Apabila nelayan melanggar peraturan yang telah dibentuk oleh daerahnya sendiri, nelayan tersebut akan mendapatkan denda & sanksi. Pemberlakuan awig-awig berguna buat meminimalisir terjadinya permasalahan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan bahari dampak aktivitas nelayan yg menggunakan indera tangkap yang nir ramah lingkungan dan menghindari perseteruan yang mengakibatkan kerugian dipihak nelayan kecil, yang disebabkan sang beroperasinya alat tangkap skala besar yg sanggup menangkapikan pada jumlah akbar pada zona 3 mil.

PERANAN AWIG - AWIG BAGI MASYARAKAT LOMBOK

1. Awig awig menjadi penyelesai konflik warga Lombok

Dalam kasus ini, dapat ditinjau bahwa ternyata aturan-aturan yg dibentuk pemerintah tanpa mempertimbangkan konteks sosial pada daerah ini mampu menciptakan instabilitas. Dengan sistem desentralistik ketika ini, Lombok bangkit buat memperbaiki asal daya kelautan dan perikanannya melalui pembuatan awig-awig. Awig-awig adalah anggaran yang dibentuk berdasarkan konvensi beserta demi membangun ketertiban. Dimana diketahui bahwa pada daerah ini tak jarang terjadi permasalahan sebelum awig-awig diberlakukan. Menurut sudut pandang sosiologi aturan, hukum yg dibentuk harus melihat segala bentuk aturan yg berkembang di masyarakat itu sendiri, wajib adil dan tidak memihak. Sebelum awig-awig dibentuk, masyarakat Lombok masih menggunakan aturan berdasarkan pemerintah yang dirasakan sangat memberatkan dan memihak pada pemerintah & penguasa sehingga terjadilah banyak konflik dan peningkatan kerusakan ekosistem air laut. Oleh karenanya, produk hukum harus betul-benar melihat konteks sosial pada masing-masing daerah agar efektivitas aturan dapat berjalan menggunakan baik bukan malah mempersulit masyarakat. Karena pada dasarnya aturan berfungsi sebagai alat kontrol sosial buat mempermudah dan menciptakan ketertiban pada pada warga .

Dua. Awig awig sebai pengatur sistem perikanan berkelanjutan

Dalam pelaksanaanya Awig awig sanggup dikatakan sebagai sistem hukum istiadat yang lebih bertenaga kedudukanya dibandingkan aturan Negara . Karena pada penegakannya semua unsur masyrakat ikut ambil bagian dalam pengawasan pelaksanaanya, warga nir merasa terpaksa menggunakan aturan tadi karena memang aturan yang diterapkan di angkat dari atas kesadaran, kesepakatan dan kemauan rakyat setempat. Awig awig berperan dalam pengolahan sistem perikanan berkelanjutan lantaran berperan dalam menjaga Ekosistem Laut. Hal hal yang di atur sang awig awig misalnya : tidak boleh menebang hutan bakau, merusak terumbu karang, memakai indera tangkap yg menghambat, memakai sianida, dan embargo melakukan kegiatan perikanan pada wilayah yang telah pada memutuskan.

SANKSI BAGI PELANGGAR AWIG - AWIG

Pelaksanaan awig-awig ditegakkan secara tegas sang Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Barat (LMNLB) yg memiliki hukuman, pertama hukuman meteri aporisma Rp 10.000.000,00; kedua pembakaran indera tangkap & ketiga pemukulan massa tetapi nir hingga mati. Meskipun sangsi yg diterapkan sangat tegas akan tetapi masih ada orang yang melanggarnya. Seperti yg tertara pada tabel berikut.

Sumber : Awig-awig? Kearifan Lokal rakyat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan buat melestarikan Ekositem Laut

Semoga Bermanfaat...

Tradisi Mane'e di Sulawesi Utara

Kakorotan adalah kawasan kepulauan yang mencakup pulau: Kakorotan, Intata, dan Malo.secara administrative kepulauan tersebut termasuk dalam wilayah kabupaten kepulauan talaud, Sulawesi utara. Di kawasan pulau pulau kecil yang berada di penghujung utara Indonesia itu sejak abad ke-16 ada sebuah upacara adat yg di sebut mane’e yang bermakna “mengambil ikan di laut secara bersama setelah ada musyawarah mufakat”.

Tradisi Mane'e
Mane’e adalah tradisi lisan yang spesifik yang telah berlangsung berabad abad dan diperkirakan berlangsung sebelum abad XV dan terekam melalui sejarah kelisanan mulai abad XIV, saat dokumen dan  catatan sejarah mulai ada.tradisi mane’e di kalangan masyarakat talaud merupakan bagian dari keunikan lokal dan sebuah  peristiwa sosial.

Upacara tradisi mane’e mengandung kearifan kearifan lokal masyarakat yang hidup sangat bersahaja.upacara mane’e bagi masyarakat pulau talaud yang hidup di kawasan pesisir pantai, sebuah pulau kecil di kepulauan talaud merupakan tradisi turun temurun.Tradisi mane’e merupakan tradisi upacara adat masyarakat pesisir kepulauan talaud, yang berisi kegiatan menangkap ikan secara tradisional yang dilakukan setahun sekali pada waktu yang telah di tentukan.

Pelaksanaannya ketika air pasang tertinggi dan pasang surut terendah pada bulan purnama atau awal bulan mati yang didasarkan pada perhitungan pergerakan bintang. Dalam upacara tradisi mane’e diiringi doa atau puji-pujian dalam bentuk mantra. Ikan ikan akan berdatangan dalam kolam kolam buatan yang telah di siapkan. Menyikapi fenomena alam tersebut masyarakat pesisir pulau kakorotan kepulauan talaud melakukan kegiatan menangkap ikan yang disebut mane’e. Tradisi upacara menangkap ikan secara tradisional, dalam pelaksanaanya ada beberapa mantra yang di ucapkan oleh tua adat dan tokoh masyarakat, tetapi tradisi mane’e merupakan tradisi yang unik pada masyarakat pulau kakorotan kepulauan talaud.mereka memilih mane’e sebagai sarana upacara tradisi dalam kegiatan menangkap ikan.

Tradisi upacara mane’e yang dipilih karna didasarkan atas pertimbangan nilai nilai kearifan local, yang terdapat dalam upacara tradisi mane’e, sesuai dengan nilai nilai yang berlaku pada masyarakat pesisir pulau kakorotan saat ini.misalnya nilai nilai keagamaan, pranata sosial dan adat. Bagi pemerintah Sulawesi utara, tradisi mane’e merupakan budaya yang memiliki asset yang paling berharga, yang bisa dijadikan sebagai salah satu daya tarik dibidang pariwisata. Namun, kini upacara mane’e mulai dirasakan oleh sosok tokoh yang bisa memimpin upacara Mane’e kian sulit di temukan.Jangankan untuk memimpin upacara adat, Masyarakat  pesisir pulau kakorotan yang paham akan nyanyian,syair, dan mantra dalam upacara tradisi mane’e pun kini terus berkurang.

PERLENGKAPAN YANG DIPERLUKAN PADA TRADISI MANE'E

Perlengkapan yang perlu dipersipkan dalam upacaramane’e ini adalah ;

  1. Jubih (panah laut)
  2. Saringan / keranjang
  3. Jaring berbentuk segiempat yang terbuat dari janur kelapa dan tali hutan. Jaring ini dibuat secara bergotong royong oleh seluruh warga kakorotan sehingga panjangnya dapat mencapai tiga kilometer.

TAHAPAN DALAM UPACARA MANE'E

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara mane’e juga dilakukan secara bertahap. Ada empat tahap yang harus dilalui dalam upacara ini, yaitu :

  1. Tahap maraca pundagi atau memotong tali hutan yang diadakan tiga hari sebelum tradisi mane’e diadakan;
  2. Tahap doa selamatan yang dipimpin oleh para tetua adat (mangolom para) di pulau kakorotan;
  3. Tahap penentu waktu dan zona upacara di pulau intata ( sekitar 600 meter arah utara pulau kakorotan). Penentu waktu ini didasarkan pada posisi bulan yang akan berpengaru pada pasang surutnya air laut;
  4. Tahap mane’e atau menangkap ikan secara beramai ramai di tepi laut. Sedangkan, pihak pihak yang terlibat dalam upacara mane’e adalah para tetua dat, tokoh masyarakat, warga masyarakat di kepulauan kakorotan, dan sebagian warga di luar kepulauan kakorotan yang mendapat undangan atau ingin menyaksikan jalannya upacara.

PROSESI MANE'E

Setelah masa eha berakhir, para tetua adat di Kepulauan Kakorotan mulai menggambarkan kepada warganya agar mereka bersiap siap untuk mengadakan pesta mane’e baik didarat maupun dilaut secara besar besaran. Kabar ini kemudian disampaikan oleh warga kepada warga lainnya yang sedang merantau atau berada di luar wilayah Kakorotan. Tiga hari sebelum upacara mane’e para warga di Pulau Kakorotan mulai melangsungkan upacara pengambilan tali didalam hutan. Setelah itu, dilanjudkan lagi dengan upacara doa selamatan yang dipimpin oleh para tetua adat (mangolom para) di Pulau Kakorotan. Selanjudnya, diadakan musyawarah untuk menentukan waktu dan tempat upacara mane’e yang disesuaikan dengan peredaran bulan mengelilingi bumi. Pada saat para kepala adat melakukan musyawarah tersebut, warga di Pulau Kakorotan mulai merajut jaring dari bahan janur kelapa dan tali hutan. Setelah jaring siap, pagi hari menjelang upacara jaring janur tersebut di bawa secara beramai ramai untuk di tebarkan( mamoto’ sammi) kelaut yang sedang pasang. Sebelum memasang jaring, mereka membuat semacam kubangan seluas 400 meter persegi yang nantinya akan digunakan untuk memerangkap ikan ketika air laut sedang surut. Saat seluruh peserta upacara telah berada di tepi pantai, menjelang tengah hari jaring yang telah  di pasang tersebut kemudian ditarik kepantai. Penggiringan ikan - ikan ke kubangan itu memakan waktu sekitar empat hingga lima jam. Dan apabila ikan ikan telah terkumpul di kubangan, warga  pun segera menangkap ikan dengan menggunakan jubih (panah laut) , saringan atau dengan tangan kosong. Ikan hasil tangkapan itu kemudian ada yang dibawa pulang dan ada pula yang dibagikan kepada pengunjung atau wisatawan untuk dibakar dan dimakan bersama sama. Ritual mane’e diakhiri dengan doa bersama sebagai rasa syukur kepada Tuhan (Manarimma alama).

Sumber : Olandiani pasa’bi. Tradisi Mane'e

Semoga Bermanfaat...

Hukum Adat Sasi di Maluku

Sasi merupakan tata cara spesifik yang berlaku hampir pada seluruh pulau pada Provinsi Maluku (Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep. Lease, Watubela, Banda, Kep. Kei, Arudan Kep. Barat Daya & Kep. Tenggara di bagian barat daya Maluku) dan Papua (Kep. Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Nabire, Biak & Numfor, Yapen, Waropen, Sarmi,Kaimana & Fakfak). Sasi juga mempunyai nama lain, yakni Yot di Kei Besar & Yutut pada Kei Kecil. Sasi jua dikenal sebagai cara pengolahan asal daya alam pada desa-desa pesisir Papua.

Sasi bisa diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam eksklusif sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu & populasi sumberdaya biologi (hewani maupun botani) alam tadi. Karena peraturan-peraturan pada pelaksanaan embargo ini pula menyangkut pengaturan interaksi insan dengan alam & antar insan dalam daerah yang dikenakan embargo tadi, maka sasi, dalam hakikatnya, jua merupakan suatu upaya buat memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan menurut output sumberdaya alam kurang lebih pada semua rakyat/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara merogoh kebijakan pada pengambilan hasil bahari & output pertanian. Tetapi, secara umum, sasi berlaku pada masayarakat menjadi bentuk etika tradisional. Sasi nir berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian & pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu & kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yg dimiliki. Seperti yg kita tahu, bahwa taboo atau tabu berfungsi buat menjaga kestabilan hayati masyarakat. Tabu sering dikaitkan menggunakan sesuatu yg terlarang, lantaran akan menyebabkan pengaruh jelek bagi orang yang melanggar tabu.

Ada tiga hal penting pada ketentuan ?Aturan adat sasi?, yaitu ;

  1. Terdapat  larangan  memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.
  2. Ketentuan  sasi   tidak  saja  mencakup  lingkungan  alam, tetapi  juga  lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia.  Misalnya, melarang masyarakat bepergian keluar  desa  karena alasan  tertentu,  melarang   bentuk-bentuk   keramaian   pada  waktu tertentu seperti pada saat upacara adat, membangun baileu (rumah adat).
  3. Ketentuan hukum sasi, ditetapkan oleh masyarakat  atas  prakarsa  mereka  sendiri dan pengawasan pelaksanaannya diselenggarakan oleh masyarakat kewang (polisi adat) yang tidak dibayar oleh pemerintah.

TUJUAN SASI

Dengan demikian tujuan sasi adalah ;

  1. Menjaga ketertiban dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga terjadinya pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut.
  2. Mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat, menurut waktu yang ditentukan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan hasil produksi tanaman.
  3. Menumbuhkan tingkah laku dan pola pikir masyarakat yang berwawasan lingkungan terhadap generasi berikutnya.

DASAR HUKUM DAN KELEMBAGAAN SASI

Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; pada Haruku dianggap Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku"). Keputusan kerapatan norma inilah yang dilimpahkan wewenang pelaksanaannya kepada forum Kewang, yakni suatu lembaga istiadat yang ditunjuk buat melaksanakan supervisi terhadap aplikasi peraturan peraturan sasi tersebut.

Lembaga Kewang pada Haruku dibentuk semenjak sasi terdapat dan diberlakukan pada desa ini. Struktur kepengurusannya merupakan menjadi berikut:

  1. Seorang Kepala Kewang Darat;
  2. Seorang Kepala Kewang Laut;
  3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
  4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
  5. Seorang Sekretaris
  6. Seorang Bendahara
  7. Beberapa orang Anggota.

Adapun para anggota Kewang dipilih menurut setiap soa (marga) yg terdapat di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat berdasarkan warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya menggunakan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban:

  1. Mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar;
  2. Melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya;
  3. Menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi;
  4. Memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta
  5. Menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

KLASIFIKASI SASI

Ada beberapa jenis sasi yang dikenal sang warga Maluku, diantaranya ;

  1. Sasi Negeri ; atau disebut juga sasi adat .  Sepenuhnya dilakukan secara adat, dipimpin oleh kepala desa (raja) yang betindak sebagai kepala persekutuan hukum-hukum adat di desanya, dibantu oleh perangkat desa (tua-tua adat) yang terdiri dari kepala soa, mauweng dan kewang. Adapun fungsi mereka adalah  (1) kepala soa berfungsi membantu raja dalam mengatur jalannya upacara adat, pada waktu “buka sasi” dan “tutup sasi”; (2) mauweng berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat adat dengan roh-roh para leluhur ; (3) kewang berfungsi untuk mengatur teknis pelaksanaan sasi di lapangan dan sekaligus mengawasi setiap pelanggarannya.
  2. Sasi Darat ; dikenakan pada hasil-hasil di daratan seperti hasil tanaman dan hasil hutan. Menurut tempat maupun jenisnya, kita mengenal sasi hutan, sasi rotan, sasi damar, sasi batu, sasi kali, sasi kelapa, sasi lemong (jeruk) dan sebagainya.
  3. Sasi Laut ; dikenakan terhadap hasil laut. Menurut jenisnya biasanya dikenal dengan sasi kawalinya, sasi lompa, sasi make, sasi teripang, dan sebagainya.
  4. Sasi Perorangan ; biasanya dilakukan oleh satu keluarga (extended family). hanya terbatas pada milik keluarga (= kebun, hutan) tersebut.  pelaksanaan dan pengawasannya juga, hanya terbatas pada keluarga tersebut.  Pemerintah desa, hanya mendapat pemberitahuan.

Sasi berdasarkan lokasi dan jenis sumber daya alam. Sasi jua bisa diberlakukan lokasi-lokasi & jenis-jenis asal daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok primer, yakni sebagai berikut:

1. Di laut (Sasi laut), sasi tersebut diberlakukan berdasarkan batas air surut ke batas awal air yang pada pada ketika tertentu, yakni menjadi berikut :

  • Menangkap ikan seperti lompa (Thryssa baelama) (Engraulidae) serta jenis ikan lainnya, termasuk teripang (Holothuroidea) dan udang;
  • Menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu;
  • Menangkap ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil (redi karoro);
  • Menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun;
  • Menangkap ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu;
  • Mengambil lola (Trochus niloticus), karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir;
  • Mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.

Dua. Di sungai (Sasi kali) pada ketika :

  • Menangkap ikan dan udang;
  • Menangkap ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil;
  • Menangkap ikan dengan bom atau racun;
  • Mengumpulkan kerikil dan pasir;
  • Menebang pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.

3. Di Daratan (Sasi hutan) dalam saat :

  • Mengambil hasil pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkeh, pala, langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya;
  • Mengambil daun sagu untuk atap rumah;
  • Menebang pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar;
  • Menebang pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;
  • Menebang pohon pada lereng-lereng tertentu;
  • Penghijauan;
  • Berburu burung mamalia di hutan.

4. Di pantai (Sasi pantai) pada saat:

  • Mengambil hasil hutan mangrove;
  • Mengambil telur burung gosong/maleo yang hitam.

Sumber : 1) http://www.kewang-haruku.org/sasi.html; 2) Wulan. Sasi di Maluku; 3) Lizza Laelatul Izzah Zaen. Dilema Sistem dat Sasi dan Kuasa Pemerintah Menjaga Sumber Daya lam Pulau Maluku; 4) http://budaya-indonesia.org/Tradisi-Sasi

Semoga Bermanfaat...

Tradisi Petik Laut di Banyuwangi

Sebagai negara bahari yg besar , bahari nir bisa dipisahkan begitu saja menurut negeri ini. Laut merupakan asal berdasarkan segala rezeki yg bisa dipanen kapan saja. Laut merupakan gudang harta yg wajib dijaga dan dihormati sampai kapan pun terutama bagi mereka yg bermata pencaharian menjadi nelayan.

Sebagai wujud rasa syukur & juga hormat kepada alam, beberapa warga pada Indonesia kerap melakukan tradisi sesaji kepada laut. Pada bulan-bulan eksklusif nelayan atau penduduk di pesisir pantai melakukan larung sesaji ke samudera . Salah satu tradisi larung sesaji yang cukup terkenal di Indonesia adalah Petik Laut yg diadakan di Muncar, Banyuwangi. Berikut cerita tentang sedekah bumi termegah pada Indonesia itu.

SEJARAH PETIK LAUT

Tidak ada yang tahu kapan tradisi Petik Laut mulai diadakan di Muncar, Banyuwangi. Menurut penuturan para sesepuh yang ada di sana, tradisi ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Para nelayan yang berasal dari etnik Madura memulai tradisi ini dibantu oleh nelayan dari daerah lain yang kebetulan juga bekerja dan menangkap ikan di kawasan perairan Muncar dan sekitarnya.
Kapal hias memeriahkan acara petik laut [sumber]

Tradisi yang awalnya hanya buat syukuran hasil laut yg melimpah mendadak berubah menjadi semacam pesat rakyat. Petik Laut merupakan event tahunan yg digarap menggunakan sangat apik sang rakyat lokal sana. Mereka akan mendedikasikan poly waktunya buat menghias bahtera hingga menyiapkan segala keperluan yg terdapat sampai lengkap pada hari Petik Laut berlangsung.

TUJUAN PETIK LAUT

Tujuan utama dari Petik Laut adalah untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan banyak rezeki kepada nelayan. Setiap tahun, nelayan bisa memanen banyak ikan seperti tidak ada habisnya. Sebagai wujud rasa syukur itu, warga melakukan sedekah laut dengan mengarak banyak kapal yang telah diberi hasil bumi dan beberapa sesaji lainnya.
Meriahnya acara petik laut [sumber]

Selain bersyukur kepada Tuhan, prosesi ini pula dilakukan buat menaruh persembahan kepada penguasa bahari selatan. Tidak bisa dimungkiri lagi, bagi pelaut atau nelayan, kekuatan nir kasat mata pada laut selatan masih dianggap dengan kuat. Selain pada penguasa bahari selatan, upacara larung sesaji ini jua dilakukan buat menghormati leluhur yang sudah mengajarkan mereka cara menangkap ikan dengan benar pada samudera .

PROSESI PETIK LAUT

Prosesi Petik Laut diadakan dengan mengumpulkan banyak barang sesaji. Benda yang harus ada untuk prosesi ini adalah kepala kambing hitam dengan badan yang berwarna putih. Kelak kepala kambing ini akan diberi pancing yang terbuat dari emas dan ditancapkan pada lidahnya. Saat prosesi dilakukan, kepala ini akan dilarung ke lautan sebagai wujud rasa syukur yang tiada batasnya.
Melarung sesaji sebagai salahsatu prosesi Petik Laut [sumber]

Sebelum arak-arakan menuju daerah samudera dilakukan, sesaji akan diarak keliling desa. Para penari gandrung akan menyambut arak-arakan itu sebelum akhirnya naik ke atas bahtera. Setelah semua sesaji dinaikkan ke atas kepal, mereka akan segera menuju tengah lautan yg berarus tenang. Satu per satu sesaji yang dibawa akan dilemparkan ke lautan. Oh ya, pada prosesi ini umumnya terdapat masyarakat yang terjun ke samudera untuk merogoh barang-barang yang telah dilemparkan itu.

NILAI BUDAYA DALAM PETIK LAUT

Nilai budaya yang terkandung dalam ritual Petik laut ini sangatlah besar. Warga menjunjung tinggi dan menjaga laut mereka yang memberikan rezeki tanpa batas. Dengan adanya tradisi ini, mereka akan menjaga lautan dari perusakan agar terus mendapatkan banyak limpahan rezeki. Tanpa laut, hidup mereka tidak akan berjalan dengan baik.
Nelayan bergotong royong menghias kapal [sumber]

Selain unsur budaya, unsur kekeluargaan juga terlihat menggunakan sangat akbar pada prosesi ini. Semua rakyat bahu-membahu pada menyiapkan program. Mereka akan bersama-sama menyukseskan program yg sangat penting bagi mereka. Tidak terdapat si kaya atau si miskin, seluruh melakukan pekerjaan bersama-sama demi kemakmuran.

Sumber : Adi Nugroho. Petik Laut, Tradisi Larung Sesaji Termegah di Indonesia yang Diadakan Saat Bulan Suro

Semoga Bermanfaat...

Tradisi menangkap Ikan Dengan teknik Huhate Di Larantuka

Huhate tidak dapat dipisahkan menggunakan para nelayan pemburu Cakalang. Kegiatan memancing Cakalang lebih banyak menggunakan huhate buat mendapatkan ikan pada jumlah banyak tetapi menggunakan ketika yang nisbi lebih singkat. Konon seseorang pemancing sanggup memancing 40 ? 50 ekor per mnt.

Kelompok Nelayan di Larantuka menerapkan praktik perikanan yang bersahabat dan berkelanjutan dengan teknik Huhate (pole and line). Ini adalah solusi yang harus kita sebar luas demi menjaga masa depan laut kita tetap sehat dan terlindung dari praktik penangkapan ikan yang merusak

Untuk memancing memakai huhate, umumnya kelompok nelayan memakai kapal khusus yang dimodifikasi sedemikian rupa sebagai akibatnya pemancing bisa duduk atau berdiri mengelilingi tepian kapal.

Huhate sebenarnya mirip seperti joran yg dipakai kebanyakan nelayan, namun masih sangat tradisional. Tangkai pancingnya menggunakan bambu spesifik yang lentur, kemudian kail yg nir berkait diikat dalam seutas tali. Pada kail Huhate umumnya diberi bulu ayam atau rabat tali rafia sehingga menyamarkannya menurut penglihatan ikan. Tak lupa diberi pemberat buat memudahkan pemancing mengarahkan kailnya ke bahari. Apabila tidak menggunakan pemberat, kemungkinan besar kail akan melayang tidak karuan lantaran angin.

Umpan yang digunakan adalah ikan teri yg diambil menurut pukat teri atau bagan, diusahakan permanen hayati agar lebih gampang memancing sekumpulan cakalang. Untuk memulai pemancingan, pertama-tama para nelayan mencari posisi ikan, kemudian umpan dilepas disekitar kapal sesudah itu kegiatan memancingpun dilakukan. Hampir semua tepian kapal masih ada instalasi pipa buat menyemprotkan air guna mengelabuhi ikan.

Memancing menggunakan memakai huhate terbilang sangat efektif, lantaran ikan-ikan kecil tidak ikut tertangkap.

HUHATE (POLE AND LINE)

Sebelum pemancingan, dilakukan penyemprotan air untuk mempengaruhi visibility ikan terhapap kapal atau para pemancing. Adanya faktor umpan hidup inilah yang membuat cara penangkapan ini menjadi agak rumit. Hal ini disebabkan karena umpan hidup harus sesuai dalam ukuran dan jenis tertentu, disimpan, dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan hidup. Ini berarti diperlukan sistem penangkapan umpan hidup dan desain kapal yang sesuai untuk penyimpanan umpan supaya umpan hidup dapat tahan sampai waktu penggunaannya. Secara umum alat tangkap pole and line terdiri atas joran (bambu atau lainnya) untuk tangkai pancing, /polyethylene/ untuk tali pancing dan mata pancing yang tidak berkait terbalik.
Alat tangkap huhate (pole and line)

Terdapat beberapa keunikan dari alat tangkap huhate. Bentuk mata pancing huhate tidak berkait misalnya lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan rafia yg halus supaya tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal huhate memiliki konstruksi spesifik, dimodifikasi menjadi lebih panjang, sebagai akibatnya bisa dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya berukuran mini . Di dinding bagian lambung kapal, beberapa centimeter pada bawah dek, masih ada sprayer dan di dek terdapat beberapa loka ikan umpan hidup. Sprayer adalah indera penyemprot air.

Alat tangkap pole and line ini merupakan sebagi berikut:

1. Joran (galah)

Bagian ini terbuat dari bambu yang cukup tua dan mempunyai tingkat elastisitas yang baik. Yang umum digunakan adalah bambu yang berwarna kuning. Panjang joran berkisar 2 – 2,5 m dengan diameter pada bagian pangkal 3 – 4 cm dan bagian unjuk sekitar 1 – 1,5 cm. Sebagaimana telah banyak digunakan joran dari bahan sintesis seperti plastik atau fibres.
Salah satu bentuk jorang huhate dari bambu

2. Tali utama (main line)

Terbuat dari bahan sintesis/polyethylene/ dengan panjang sekitar 1,5 – 2 m yang disesuaikan dengan panjang joran yang digunakan, cara pemancingan, tinggi haluan kapal dan jarak penyemprotan air. Diameter tali 0,5 cm dan nomor tali adalah No 7.
Bagian - bagian dari alat tangkap huhate (pole and line)

tiga. Tali sekunder

Terbuat dari bahan monofilament berupa tali berwarna putih sebagai pengganti kawat baja /(wire leader)/ dengan panjang berkisar 20 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terputusnya tali utama dengan mata pancing sebagai akibat gigitan ikan cangkalang.
Bagian - bagian dari alat tangkap huhate (pole and line)

4. Mata pancing /(hook) Yang tidak berkait balik

Nomor mata pancing yang digunakan adalah 2,5 – 2,8. Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk slinder dengan panjang sekitar 2 cm dan berdiameter 8 mm dan dilapisi nikel sehingga berwarna mengkilap dan menarik perhatian ikan cangkalang. Selain itu, pada sisi luar silender terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali sekunder. Dibagian mata pancing dilapisi dengan guntingan tali rafia berwarna merah yang membungkus rumbia-rumbia tali merah yang juga berwarna sebagai umpan tiruan. Pemilihan warna merah ini disesuaikan dengan warna ikan umpan yang juga berwarna merah sehingga menyerupai ikan umpan.
Bentuk mata pancing huhate (pole and line)

Dalam aplikasi operasi dengan alat pole and line ini pada samping digunakan umpan tiruan berupa sobekan-sobekan kain, guntingan tali rafia, ataupun bulu ayam juga digunakan umpan hidup. Umpan hidup ini digunakan buat lebih menarik perhatian ikan cakalang agar lebih mendekat pada areal buat melakukan pemancingan. Sedangkan pada melakukan operasi pemancingan digunakan pancing tanpa umpan. Hal ini bertujuan buat efisiensi & efektifitas alat tangkap, lantaran ikan cakalang termasuk pemangsa yg rakus. Hal ini sesuai menggunakan pendapat ayodhya (1981) bahwa jika ikan makin poly & makin bernafsu memakan umpan, maka digunakan pancing tanpa umpan & mata pancing ini tidak beringsang

(nir berkait).

5. Umpan

Umpan yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan.
Ikan teri yang digunakan sebagai umpan

Selanjutnya dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri /(Stolephorus spp.).

TEKNIK PENGOPERASIAN

Teknik operasi penangkapan ikan menggunakan pole and line yaitu, sehabis semua persiapan sudah dilakukan, termasuk penyediaan umpan hayati, maka dilakukan pencarian grup ikan sang seorang pengintai yang tempatnya umumnya dianjungan kapal, & memakai teropong. Pengoperasian bisa jua dilakukan didekat rumpon yg sudah dipasang terlebih dahulu. Setelah menemukan gerombolan ikan wajib diketahui arah renang ikan tadi baru lalu mendekati gerombolan ikan tadi. Sementara pemancing sudah harus bersiap masing-masing dalam sudut kiri kanan dan haluan kapal. Cara mendekati ikan wajib menurut sisi kiri atau kanan dan bukan dari arah belakang.

Pelemparan umpan dilakukan oleh /bouy-bouy/ setelah diperkirakan ikan telah berada dalam jarak jangkauan pelemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan tersebut, mesin penyomprot sudah difungsikan agar ikan tetap berada didekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan kelaut dikurangi, mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Pemancingan biasanya berlangsung 15-30 menit.
Nelayan sedang menangkap ikan denga alat tangkap huhate

Waktu pemancingan tidak perlu dilakukan pelepasan ikan menurut mata pancing disebabkan dalam saat joran disentuhkan ikan akan jatuh keatas kapal & terlepas sendiri menurut mata pancing yg tidak berkait. Berdasarkan pengalaman atau keahlian memancing nelayan, pemancing kadang dikelompokkan kedalam pemancing kelas I, II, & III. Pemancing kelas I (lebih berpengalaman) ditempatkan dihaluan kapal, pemancing kelas II ditempatkan disamping kapal, dekat kehaluan, sedangkan pemancing kelas III ke samping kapal relatif jauh dari haluan. Untuk memudahkan pemancingan, maka dalam kapal Pole and Line dikenal adanya ?Flying deck? Atau loka pemancingan.

Pemancingan dilakukan serempak sang semua pemancing. Pemancing duduk pada sekeliling kapal menggunakan pembagian grup berdasarkan keterampilan memancing. Pemancing I adalah pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan sebanyak 50-60 ekor per mnt.

Pemancing I diberi posisi di bagian haluan kapal, dimaksudkan supaya lebih poly ikan tertangkap.

Pemancing II diberi posisi di bagian lambung kiri & kanan kapal. Sedangkan pemancing III berposisi di bagian buritan, umumnya merupakan orang-orang yang baru belajar memancing & pemancing berusia tua yang tenaganya telah mulai berkurang atau sudah lamban. Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam ketika pemancingan dilakukan jangan terdapat ikan yg lolos atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan kelompok ikan menjauh menurut sekitar kapal.

Hal lain yang perlu diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah terpancing, jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil waktu. Di samping itu, banyaknya ikan-ikan kecil di perairan sebagai /natural bait/ akan menyebabkan kurangnya hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap Pole and Line.

Sumber : disini

Semoga Bermanfaat...

Tradisi Bameti dan Balobe Di Maluku Tengah

TRADISI BAMETI

Kegiatan bameti dilakukan hampir pada seluruh negeri pada pulau Saparua, apalagi dalam negeri-negeri yang memiliki hamparan pantai yg luas. Kegiatan ini umumnya dilakukan dalam saat air meti (air surut) dan lebih banyak dilakukan sang kaum wanita & biasanya pada ketika animo timur di mana ikan banyak dan gelombang besar . Ada beberapa bentuk aktivitas bameti yaitu :

  1. Amanisa/amunisa adalah alat tangkap ikan yang dibuat dari anyaman bamboo bentuknya bulat memanjang di mana salah satu sisinya dibuat berlubang sebagai pintu masuknya ikan. kegiatan ini biasanya dilakukan oleh orang perempuan. Caranya amanisa di letakan di dalam kolam dan ketika batu diangkat maka ikan-ikan yang bersembuyidi bawah batu tersebut akan masuk ke dalam amanisa, kemudian pintu amanisa ditutup. Kegiatan ini dapat dilakukan pada beberapa tempat yang diyakini ada ikannya, dan biasanya kegiatan ini dilakukan pada saat meti di musim timur. Selain metinya panjang, dimusim ini ikannya banyak, sehingga bamate amanisa dapat dilakukan dengan mudah.
  2. Keong laut
  3. Gale (gali) taripang adalah kegiatan menggali jenis teripang tertentu. Bagi mereka yang sudah berpengalaman mereka tahu betul tempat teripang ini hidup. Biasanya jenis teripang ini hidup bekelompok dalam pasir dan karang. Dengan begitu harus memakai linggis sebagai alat untuk menggali lobang untuk menemukan teripang-teripang ini. Jenis taripang seperti ini di Negeri Booi dinamakan Teripang Sai-sai.
    Teripang

Cari Bia : biasanya dapat dilakukan oeh siapa saja, orang tua, anak kecil, laki, perempuan. Ketika air meti (air surut) mereka kemudian mencari jenis-jenis siput atau keong laut (Bia) dengan cara menggali. Kegiatan ini dapat dikatakan gampang-gampang susah, artinya yang belum berpengalaman pasti akan merasa sulit, karena harus bisa membedakan bentuk keong atau siput tertentu dengan batu-batu kecil yang berlumut. Dalam hal mencari bia ada jenis bia tertentu yang sering menjadi sasaran pencarian yaitu mencari bia sageru (nama bia ini lazim di Lease).

Mencari bia sageru ini unik, bia ini umumnya bersembunyi pada dalam pasir & yang kelihatan adalah lubang-lubang mini dipermukaan. Untuk dapat memangkapnya harus menggunakan potongan lidi menggunakan ukuran kira-kira 30 cm dengan diameter seukuran tusuk sate, Cara tangkapnya lidi ditusuk sempurna ke pada ke dalam lubang kecil tadi, bila kena bia akan menutup tubuhnya dan tertancap dilidi, namun apabila nir bia akan membenamkan diri lebih jauh ke dalam pasir. Mencari bia ini harus berjalan perlahan-huma lantaran sangat sensitif sekali bia ini.

TRADISI BALOBE

Kegiatan balobe sama saja dengan kegiatan bameti, hanya balobe dilakukan pada malam hari.
Warga yang telah melaksanakan balobe

Balobe umumnya buat mencari ikan atau gurita dengan menggunakan obor atau lampu. Alat yg digunakan buat balobe merupakan parang, Kalawai (sejenis tombak, yg bermata 2-5 cm), Kurkunci ( besi mini yg galat satu ujungnya pada tajamkan & menggunakan taji/sanggi-sanggi yg sengaja pada buat menjadi indera pelengkap Kalawai. Jika dibandingkan menggunakan kegiatan bameti, balobe lebih mudah menerima ikan, karena malam hari ikan atau Gurita terkesan jinak tinggal di pangkas atau pada tikam menggunakan Kalawai atau Kurkunci.

Sumber : disini

Semoga Bermanfaat...

Ekosistem Lamun

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbagai jenis biota laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif.  Produktivitas total meningkat dengan jelas di perairan dekat pantai. Produktifitas ekosistem lamun di daerah tropis dikenal tinggi namun mempunyai kandungan zat hara yang rendah dalam air tapi tinggi dalam air poros (pore water). Produktivitas lamun berkisar antara 500–1000 gC/m2/tahun.

Padang lamun adalah ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya menggunakan produktivitas primer berkisar antara 900 - 4650 gC/m2/tahun. Pada ekosistem lamun hidup majemuk biota laut, misalnya ikan, krustasea, moluska, Ekinodermata, & cacing

Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove & terumbu karang, dimana terdapat 5 tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni: fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak manusia (Ogden & Gladfelter, 1983).
Hubungan antara terumbu karang, manusia dan lamun

KOMUNITAS LAMUN

Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas 1 atau 2–12 jenis lamun yang tumbuh bersama membentuk vegetasi campuran. Jenis pembentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain: T. hemprichii, E. acoroides, H. ovalis, C. serrulata, & T. ciliatum

Komunitas lamun umumnya hanya terdiri atas 1 atau beberapa jenis dominan & strukturnya sederhana serta homogen.

Komunitas lamun di perairan Indo-Pasifik umumnya terdiri dari jenis yang lebih heterogen & pertumbuhannya tidak merata. Di Indonesia & perairan Indo-Pasifik lain terdapat Enhalus acoroides yang tidak dijumpai di perairan Karibia. E.acoroides dapat membentuk komunitas lamun yang monospesifik.

Padang lamun merupakan komunitas kompleks yang terdiri atas sejumlah besar epifit, epizoik, penggali, & biota lain yang berasosiasi dengan lamun, di mana mereka mendapatkan tempat berlindung dan atau makanan.

FORMASI PADANG LAMUN

Formasi padang lamun dapat dikelompokkan menjadi 5:

  1. Zosteretea : Habitat substrat pasir, lumpur di pantai tropis – subtropis Zostera.
  2. Halodulo – Thallassietea : Habitat substrat lumpur, pasir, pecahan karang mati di pantai tropis ; Halodule, Halophila, Thalassia, Cymodocea, Syringodium, Enhalus
  3. Phyllospadicetea - Phyllopadicetalia : Habitat pantai berbatu di intertidal Pasifik Utara ; Phyllospadix.
  4. Posidonietetea - Posidonietalia : Habitat sublitoral, sublitoral berbatu, pasir, Dapat membangun dasar sampai beberapa meter ; Posidonia, komunitas klimaks & sangat stabil.
  5. Thalassodendretalia ; Terdiri dari satu jenis (Thalassodendron ciliatum) yang tumbuh lebat.

SUKSESI PADANG LAMUN

Suksesi klimaks bila didominasi oleh 1 atau beberapa jenis dengan komunitas yang stabil. Contoh: Posidonia, Thallasia testudinum, kel. Halophilids & Parvozozterid
Suksesi padang lamun

KERAGAMAN JENIS LAMUN

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 58 jenis yang dikelompokkan ke dalam 12 marga, 4 suku, dan 2 ordo. Di Asia Tenggara ada 20 jenis yang tersebar di Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, & Filipina. Di Indonesia ditemukan 12 jenis dominan yang termasuk ke dalam 7 marga & 2 suku (Hydrocharitaceae & Potamogetonaceae). Bila termasuk Halophila beccarii & Ruppia maritima maka jumlahnya 14 jenis (Kiswara, 1994).

Di Indonesia jenis lamun dapat dijumpai dalam skala besar & menutupi dasar perairan yang luas membentuk suatu padang lamun (seagrass bed).

JENIS LAMUN DI INDONESIA
Lamun yang ada di Indonesia
Berbagai jenis lamun
Berbagai jenis lamun

KELOMPOK JENIS LAMUN

SEBARAN LAMUN DI INDONESIA

HABITAT LAMUN DI INDONESIA

Sumber : Ekosistem Lamun

Semoga Bermanfaat...