Loading Website
Diberdayakan oleh Blogger.

Panduan Dropship

Laporkan Penyalahgunaan

Kontributor

Memahami Teknik Pembuatan Garam Rakyat dengan Tehnologi Geomembran

Permasalahan yang ada pada produksi garam rakyat saat ini  adalah kurangnya kualitas dan kuantitas  terhadap kebutuhan garam nasional seirin...

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

Cloud Hosting Indonesia

Mahir Website

Easy import From China

The Power Of Wanita Idaman

Featured

Seni Menjadi Pedagang Online

Nilai - Nilai yang terkandung Pada Hukum Adat Lilifuk

Ada 7 (tujuh) nilai dalam hukum tata cara lilifuk, pada antaranya:

1. Nilai Religius

Masyarakat Kuanheun percaya akan adanya kekuatan yang menguasai laut yang disebut dengan Raja Laut (Uis Tasi). Hal ini dapat ditemukan dalam mitos-mitos yang dipercayai, yakni apabila seseorang melakukan pelanggaran hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk), seperti menangkap ikan sebelum waktunya, maka orang tersebut dipercaya akan mendapat sial. Hal ini dikarenakan ada keyakinan bahwa lilifuk dijaga oleh sesuatu yang memiliki kekuatan gaib (supernatural power).

2. Nilai Ekologi

Hukum tata cara lilifuk mengatur bahwa pada melakukan penangkapan ikan pada lilifuk, setiap orang wajib menggunakan alat tangkap yg tidak merusak lilifuk yang dalam ungkapan adatnya: ?Het ika at paek at pake bale le kana leu tasi? Adalah menangkap ikan memakai alat yang tidak merusak bahari.

Norma-norma dalam hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk)  bertujuan untuk menjamin keberlangsungan sumber daya laut agar dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal, serta mendapat perlindungan dari ancaman perusakan, pemusnahan, dan pencemaran dari berbagai kegiatan atau perilaku manusia yang mengabaikan kelestarian sumber daya pesisir. Hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) ditujukan untuk menjaga lingkungan pesisir mereka.

3. Nilai Komunal

Sebagai tuan tanah (pah tuaf) dari lilifuk, tidak membuat Suku Baineo memiliki lilifuk secara mutlak. Suku Baineo berkuasa terhadap pengelolaan lilifuk, namun hasil dan manfaat dari lilifuk tetap menjadi milik dari setiap warga Desa Kuanheun.

Sekalipun Suku Baineo memiliki interaksi yg bertenaga dengan lilifuk menjadi pemilik tanah namun hal tersebut nir melemahkan nilai kepemilikan bersama atas manfaat lilifuk. Selain itu, dalam merampungkan setiap pelanggaran lilifuk pun wajib dilakukan secara musyawarah dan konsensus menggunakan melibatkan berbagai pihak & rakyat.

4. Nilai Relasi Sosial

Hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) memberikan gambaran mengenai bagaimana manusia seharusnya membangun relasi sosial yang baik, harmonis, seimbang, serasi dan selaras baik antara manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungannya.

Hukum ini berusaha untuk menciptakan jalinan hubungan yang baik antar masyarakat melaluipemberian undangan untuk panen dan musyawarah yang dilakukan dalam menyelesaikan segala permasalahan. Tidak hanya relasi antar manusia, hukum adat lilifuk (atolan alat lilifuk) juga berupaya untuk menciptakan relasi yang baik antar manusia dengan lingkungan dengan cara menjaga dan berusaha melestarikannya. Ada kesadaran bahwa lingkungan sebagai bagian dari hidup mereka yang bersama-sama memiliki keterikatan satu sama lain yang harus selalu dipertahankan.

5. Nilai Solidaritas & Tanggungjawab

Upaya perlindungan yang dilakukan melalui aturan tata cara lilifuk menunjukan adanya rasa tanggung jawab dan solidaritas menurut masyarakat Kuanheun terhadap keberlangsungan hidup biota laut dan kelestarian lingkungan. Masyarakat merasa bertanggungjawab untuk menjasa kelangsungan hidup biota bahari dengan menjaganya supaya nir punah dan terancam hidupnya sang tindakan serakah insan.

Melalui upaya penangkapan ikan yg ramah lingkungan & tidak Mengganggu lingkungan lilifuk, rakyat sudah menaruh perhatian terhadap kehidupan laut menggunakan berusaha membangun lingkungan yang baik bagi perkembangbiakan biota bahari agar dapat terus lestari. Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.

6. Nilai Kepemimpinan Sosial

Pengakuan dan penghargaan terhadap eksistensi pemimpin adat terdapat dalam hukum tata cara lilifuk. Pemimpin istiadat, misalnya lembaga istiadat (amnais alat), kepala desa (temukung), tuan tanah (pah tuaf), dan amnasit memiliki peran sentral pada penyelesaian perkara & ritual-ritual istiadat. Masyarakat memberikan ketaatan terhadap keputusan yg dibuat oleh pemimpin adat.

Setiap keputusan yang dibuat oleh seorang pemimpin akan diikuti oleh masyarakat sebagai sesuatu yang benar. Peran dan tugas yang dilakukan oleh pemimpin mereka telah membangun rasa kepemimpinan di dalam masyarakat. Nilai kepemimpinan ini juga terlihat dari sikap masyarakat yang jika ingin melakukan sesuatu di wilayah tuan tanah, maka akan meminta izin kepada tuan tanah sebagai pemimpin mereka dalam ungkapan (“a etun auf tuaf” artinya “kasih tahu tuan tanah”)

7. Nilai Pendidikan

Hukum tata cara lilifuk (atolan indera lilifuk) menjadi wahana pembelajaran banyak hal, baik mengenai ekologi, komunal (kebersamaan), solidaritas & tanggung jawab, relasi sosial maupun tentang kepemimpinan sosial.

Hukum istiadat lilifuk (atolan indera lilifuk) mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan & bagaimana seharusnya manusia menjalin hubungan yang baik & serasi menggunakan sesama dan lingkungan.

Sumber : Ranny Unbanunaek. Penerapan Hukum Adat Lilifuk terhadap Perusakan Lingkungan Pesisir Teluk Kupang

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN NILA SALINA

Guna lebih memperkaya jenis & varietas Ikan Nila yang beredar di rakyat, telah didapatkan Ikan Nila Salina menjadi jenis ikan baru.

Dalam rangka menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya serta peningkatan produksi, pendapatan, & kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas dan menyebarluaskan Ikan Nila Salina. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan & Perikanan 22/KEPMEN-KP/2014 mengenai PELEPASAN IKAN NILA SALINA.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Hukum Adat Awig - Awig Di Nusa Tenggara Barat

Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut & pesisir dengan kewenangan pengelolaan masyarakat norma mulai menjadi perhatian dan kepentingan menurut pemerintah dan penghasil kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif menurut warga & dorongan global internasional mulai bermunculan buat mendukung masyarakat nelayan walaupun aturan nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan, & instrumen aturan lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya bahari & pesisir belum masih ada di Indonesia.

Namun pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat, walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi. Salah satu keraifan lokal yang sangat menarik untuk di bahas yaitu kearifan lokal masyarakat Lombok Barat Provinsi NTB yang disebut dengan ‘ Awig-awig ”.

PENGERTIAN AWIG - AWIG

Awig-awig adalah aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Awig-awig ini mengatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan saksi.

Munculnya awig-awig yang berlaku di wilayah Lombok semakin kuat seiring dengan hadirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Seperti aturan-aturan lokal lainnya, di era sentralistik banyak sekali praktik-praktik tradisional pengelolaan perikanan yang mengalami kematian akibat homogenisasi hukum dan pemonopolian pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat. Akibatnya, keberadaan aturan-aturan lokal (hak ulayat) yang selama ini berlaku di masyarakat secara turun-menurun menjadi tidak lagi berfungsi dan mengalami degradasi, sehingga masyarakat yang merasa tidak dihargai oleh pemerintah banyak melakukan pembangkangan-pembangkangan terhadap hukum formal. Memudarnya kepercayaan masyarakat dan terjadinya pembangkangan terhadap hukum formal disebabkan oleh pemerintah itu sendiri yang tidak menegakkan hukum secara tegas.

LATAR BELAKANG MUNCULNYA AWIG - AWIG

Sementara itu adanya penguatan awig-awig pada pengelolaan perikanan di daerah ini ditentukan sang masalah utama yaitu pertarungan. Adapun munculnya permasalahan dalam kegiatan pemanfaatan asal daya ikan ditentukan oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencarian), lingkungan politik sah, perubahan teknologi dan perubahan taraf komersialisasi (pasar).

Dengan melihat faktor-faktor yg menyebabkan konflik pada wilayah pesisir, rakyat Lombok Barat merasa terpanggil dan menyadari buat mengadakan pemugaran sistem pengelolaan asal daya. Oleh karenanya, dibentuklah awig-awig secara tertulis sebagai anggaran main pada pengelolaan perikanan demi membentuk pembangunan pesisir yg berkelanjutan. Kekuatan awig-awig yg mengatur sistem pengelolaan beserta tersebut merupakan suatu kesadaran kolektif dari masyarakat. Peran masyarakat nelayan dalam pembentukan awig-awig sangat besar dibandingkan pemerintah.

Semakin menurunnya output tangkapan ikan dampak aktifitas penggunaan indera tangkap yang nir ramah lingkungan, maka rakyat nelayan menghendaki suatu aturan yg tegas pada pengelolaan asal daya pesisir & bahari, sebagai akibatnya dapat membentuk kelestarian sumber daya & peningkatan penghasilan rakyat nelayan. Pertarunga-konflik yg kerap muncul & menjadi bahan perbincangan rakyat nelayan tersebut, langsung disikapi oleh pihak pimpinan kelompok buat ditindaklanjuti pada tingkat skala kecil yaitu dengan cara menyelenggarakan diskusi kelompok nelayan. Sehingga dalam pembentukan awig awik berawal dari tahap informal yaitu berawal berdasarkan omongan omongan, kemudian berlanjut dalam termin musyawarah antar rakyat sampai terbentuk sebuah konvensi buat menciptakan aturan & diperkuat dengan campur tangan pemerintah darah dalam bentuk peraturan daerah.

Sumber : Awig-awig” Kearifan Lokal masyarakat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan untuk melestarikan Ekositem Laut

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN MAS MANTAP

Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Mas yg beredar pada rakyat, telah didapatkan Ikan Mas Mantap sebagai jenis ikan baru yg merupakan output seleksi berdasarkan marka molekuler yg dilakukan oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Dalam rangka memperkenalkan Ikan Mas Mantap sebagai komoditas unggul baru pada perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya dan peningkatan produksi Ikan Mas nasional, pendapatan, & kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Mas Mantap. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 24/KEPMEN-KP/2015 tentang PELEPASAN IKAN MAS MANTAP.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Tahapan Penyelesaian Masalah Atau Perkara Adat Dalam hukum Adat Lilifuk

Ada tahapan tertentu yg harus ditempuh pada merogoh tindakan konkrit untuk memperbaiki aturan yang sudah dilanggar itu pelanggaran tata cara. Tahapan penyelesaian masalah atau kasus tata cara disebut menggunakan ator sinlasi yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pelaporan (Mu ota lasi atau tatek oko mama)

Apabila terjadi kasus atau pelanggaran istiadat, pertama-tama akan dilaporkan mengenai masalah atau pelanggaran tadi kepada ketua desa (temukung), forum adat (amnais alat), ketua suku Baineo ataupun amnasit.

Penyampaian laporan dapat dilakukan oleh korban, pelaku (asanat) maupun orang lain. Proses pelaporan ini dikenal dengan istilah “mu ota lasi” yang artinya “menceritakan masalah/pelanggaran”. Proses ini juga dapat disebut dengan istilah “tatek oko mama” yang artinya “membawa/mendudukkan tempat sirih” apabila yang melaporkan masalah atau pelanggaran adat tersebut adalah pelaku itu sendiri. Hal ini disebabkan pada saat melapor, pelaku akan mengakui kesalahannya dan langsung meminta maaf yang dilambangkan dengan membawa tempat sirih (oko mama).

2. Perundingan (Tok ta bua)

Setelah menerima laporan dari pelapor, maka semua pihak terkait akan melakukan perundingan yang disebut dengan istilah ”tok ta bua” yang artinya “duduk bersama”.

Dalam perundingan tadi, mereka akan melakukan musyawarah buat memilih hukuman istiadat yg akan dijatuhkan kepada pelaku dengan mendengarkan kesaksian jika terdapat pihak lain yang sebagai saksi perkara atau pelanggaran tersebut. Dalam penentuan sanksi, setiap pihak yg berunding akan memperhatikan kemampuan menurut pelaku, apakah pelaku dapat memenuhi sanksi istiadat yg diberikan atau tidak.

3. Putusan (Tafek lasi)

Setelah putusan hukuman adat sudah ditetapkan pada perundingan , maka akan disampaikan pada pelaku tentang putusan hukuman yang akan diterimanya yg akan didahului menggunakan anugerah nasehat dan pedoman hidup sang galat satu pihak yang sudah ditunjuk.

Setelah memberikan nasehat kepada pelaku, maka akan disampaikan putusan mengenai sanksi adat yang diberikan. Dalam hukum adat, sanksi adat yang biasa dijatuhkan adalah sanksi denda (opat).

4. Eksekusi putusan (Ta naoba fekat)

Pelaksaan putusan ini akan didahului oleh penyembelihan hewan denda yang dibawa oleh pelaku. Hewan yang telah disembelih akan dimasak dan kemudian dinikmati bersama oleh lembaga adat (amnais alat), kepala desa (temukung), amnasit, pelaku (asanat), dan juga masyarakat (toh).

Proses makan beserta ini jua menjadi lambang bahwa pengikatan diri terhadap ketetapan aturan norma, terutama bagi pelaku buat balik mengikatkan dirinya pada aturan istiadat yg telah dilanggarnya sebagai akibatnya pada kemudian hari nir lagi melakukan pelanggaran. Proses ini jua akan membersihkan diri pelaku atas dampak (kesialan) & kesalahan yg sudah dilakukannya waktu melanggar hukum adat serta memperbaiki hubungannya dengan masyarakat pasca pelanngarannya.

Sumber : Ranny Unbanunaek. Penerapan Hukum Adat Lilifuk terhadap Perusakan Lingkungan Pesisir Teluk Kupang

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU TAHAN PENYAKIT KHV

Guna lebih memperkaya jenis & varietas Ikan Mas yang tersebar pada warga , telah didapatkan Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Rajadanu Tahan Penyakit KHV sebagai jenis baru yang adalah output seleksi menurut marka molekuler yang dilakukan oleh Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.

Dalam rangka memperkenalkan Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Rajadanu Tahan Penyakit KHV menjadi komoditas unggul baru pada perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Rajadanu Tahan Penyakit KHV, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Rajadanu Tahan Penyakit KHV. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 mengenai PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU TAHAN PENYAKIT KHV.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Hadingmulung, Kearifan Lokal Di Perairan Alor Nusa Tenggara Timur

Pengelolaan sumberdaya bahari selalu mendapatkan tekanan ancaman berdasarkan banyak sekali hal. Penggunaan alat tangkap yg nir ramah lingkungan seperti pukat , bom & potasium; pola supervisi bahari yang kurang optimal; serta tingkat kesadaran & kepatuhan rakyat buat menjaga sumberdaya pesisir & bahari sebagai beberapa model. Sebagai pengguna sumberdaya primer dan pertama, masyarakat lokal menjadi keliru satu kunci dalam pengelolaan sumberdaya pesisir & laut.

Pada jaman dahulu, wilayah pesisir dan laut dicermati menjadi potensi kerajaan Baranusa yg sekarang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor. Potensi ini menjadi sumber pangan dan penghidupan warga kurang lebih. Maka dari itu, dewan tata cara beserta Raja Baranusa sepakat buat melindungi wilayah perairan Pulau Batang & Lapang yg menjadi penyedia sumberdaya pesisir & laut yg utama menggunakan melakukan Hadingmulung.

Hadingmulung merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat hukum adat Kerajaan Baranusa dalam melakukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan melakukan sistem pengaturan pemanfaatan yang diatur secara berkala .

Dalam kurun waktu tertentu yang telah disepakati antara dewan adat dan Raja, wilayah Hadingmulung akan ditutup sementara waktu untuk tidak dilakukan aktifitas pemanfaatan hingga waktu yang telah ditentukan untuk dapat dimanfaatkan kembali secara bersama. Hadingmulung ini berfungsi menjaga keberlanjutan stok biota laut yang ada di perairan Pulau Batang dan Lapang. Selain itu, digunakan juga sebagai alat membangun hubungan kekerabatan antar wilayah, ketika proses buka hadingmulung (mengambil hasil sumberdaya laut), masyarakat di luar kerajaan Baranusa juga dipersilahkan untuk mengambil sumberdaya laut tersebut.  Keberadaan Hadingmulung ini mulai meluntur dari tahun ke tahun, bahkan cenderung hilang. Terutama setelah tahun 1977. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah masuknya partai politik, ledakan jumlah penduduk dan era modernisasi yang mendorong masyarakat berfikir praktis dan cepat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut.

Dalam kondisi tersebut, keberlangsungan ekosistem beserta biota bahari sebagai terancam. Daerah tangkapan nelayan semakin jauh, populasi ikan semakin menurun, terumbu karang menjadi tempat tinggal ikan juga turut menjadi rusak. Masyarakat berpendapat bahwa daerah pengelolaan laut dengan anggaran aturan tata cara masih sanggup berperan krusial pulang dalam menjaga sumberdaya bahari sekaligus menjaga tradisi budaya tata cara yang terdapat semenjak jaman dahulu di Kerajaan Baranusa. Hal ini sebagai semacam penegas identitas warga istiadat pada daerah tadi.

Sumber : Hadingmulung, Sebuah Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut di Perairan Alor

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI

Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Kelabau yang tersebar di warga , telah dihasilkan benih sebar Ikan Kelabau (Osteochilus Melanopleurus) Hasil Domestikasi yang merupakan output domestifikasi yang dilakukan sang Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Dalam rangka memperkenalkan Ikan Kelabau (Osteochilus Melanopleurus) Hasil Domestikasi menjadi komoditas unggul baru dalam perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi Ikan Kelabau (Osteochilus Melanopleurus) nasional, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Kelabau (Osteochilus Melanopleurus) Hasil Domestikasi. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan & Perikanan NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 tentang PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Peran Awig - Awig Bagi Masyarakat

Dalam proses pembentukan awig-awig poly mengadopsi anggaran-aturan lokal sebagai akibatnya dalam pelaksanaannya mempunyai variabel utama yg hampir sama dengan hak ulayat laut, yaitu wilayah, unit sosial pemegang hak dan legalitas beserta pelaksanaanya. Bahkan lebih menurut pada itu, terbentuknya awig - awig diilhami sang kegiatan upacara adat menyawen sehingga pada pembentukan hingga pelaksanaan masih dipengaruhi sang unsur-unsur sosial budaya rakyat setempat.

Kegiatan penangkapan ikan pada wilayah awig-awig bersifat individual. Artinya, setiap orang berhak buat melakukan aktivitas penangkapan asalkan indera-indera yg dipakai sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada zona awig-awig. Sementara buat nelayan luar yg melakukan penangkapan harus mempunyai biar dari Dinas Kelautan Perikanan Lombok Barat. Apabila nelayan melanggar peraturan yang telah dibentuk oleh daerahnya sendiri, nelayan tersebut akan mendapatkan denda & sanksi. Pemberlakuan awig-awig berguna buat meminimalisir terjadinya permasalahan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan bahari dampak aktivitas nelayan yg menggunakan indera tangkap yang nir ramah lingkungan dan menghindari perseteruan yang mengakibatkan kerugian dipihak nelayan kecil, yang disebabkan sang beroperasinya alat tangkap skala besar yg sanggup menangkapikan pada jumlah akbar pada zona 3 mil.

PERANAN AWIG - AWIG BAGI MASYARAKAT LOMBOK

1. Awig awig menjadi penyelesai konflik warga Lombok

Dalam kasus ini, dapat ditinjau bahwa ternyata aturan-aturan yg dibentuk pemerintah tanpa mempertimbangkan konteks sosial pada daerah ini mampu menciptakan instabilitas. Dengan sistem desentralistik ketika ini, Lombok bangkit buat memperbaiki asal daya kelautan dan perikanannya melalui pembuatan awig-awig. Awig-awig adalah anggaran yang dibentuk berdasarkan konvensi beserta demi membangun ketertiban. Dimana diketahui bahwa pada daerah ini tak jarang terjadi permasalahan sebelum awig-awig diberlakukan. Menurut sudut pandang sosiologi aturan, hukum yg dibentuk harus melihat segala bentuk aturan yg berkembang di masyarakat itu sendiri, wajib adil dan tidak memihak. Sebelum awig-awig dibentuk, masyarakat Lombok masih menggunakan aturan berdasarkan pemerintah yang dirasakan sangat memberatkan dan memihak pada pemerintah & penguasa sehingga terjadilah banyak konflik dan peningkatan kerusakan ekosistem air laut. Oleh karenanya, produk hukum harus betul-benar melihat konteks sosial pada masing-masing daerah agar efektivitas aturan dapat berjalan menggunakan baik bukan malah mempersulit masyarakat. Karena pada dasarnya aturan berfungsi sebagai alat kontrol sosial buat mempermudah dan menciptakan ketertiban pada pada warga .

Dua. Awig awig sebai pengatur sistem perikanan berkelanjutan

Dalam pelaksanaanya Awig awig sanggup dikatakan sebagai sistem hukum istiadat yang lebih bertenaga kedudukanya dibandingkan aturan Negara . Karena pada penegakannya semua unsur masyrakat ikut ambil bagian dalam pengawasan pelaksanaanya, warga nir merasa terpaksa menggunakan aturan tadi karena memang aturan yang diterapkan di angkat dari atas kesadaran, kesepakatan dan kemauan rakyat setempat. Awig awig berperan dalam pengolahan sistem perikanan berkelanjutan lantaran berperan dalam menjaga Ekosistem Laut. Hal hal yang di atur sang awig awig misalnya : tidak boleh menebang hutan bakau, merusak terumbu karang, memakai indera tangkap yg menghambat, memakai sianida, dan embargo melakukan kegiatan perikanan pada wilayah yang telah pada memutuskan.

SANKSI BAGI PELANGGAR AWIG - AWIG

Pelaksanaan awig-awig ditegakkan secara tegas sang Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Barat (LMNLB) yg memiliki hukuman, pertama hukuman meteri aporisma Rp 10.000.000,00; kedua pembakaran indera tangkap & ketiga pemukulan massa tetapi nir hingga mati. Meskipun sangsi yg diterapkan sangat tegas akan tetapi masih ada orang yang melanggarnya. Seperti yg tertara pada tabel berikut.

Sumber : Awig-awig? Kearifan Lokal rakyat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan buat melestarikan Ekositem Laut

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA

Guna lebih memperkaya jenis & varietas Ikan Mas (Cyprinus Carpio) yg beredar pada masyarakat, telah didapatkan Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Marwana menjadi jenis ikan baru yg merupakan hasil seleksi berdasarkan marka molekuler yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Budidaya Ikan Nila dan Mas, Wanayasa, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat.

Dalam rangka memperkenalkan Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Marwana menjadi komoditas unggul baru pada perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi Ikan Mas (Cyprinus Carpio) nasional, pendapatan, & kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Marwana;. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan & Perikanan NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 mengenai PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :