Loading Website
Diberdayakan oleh Blogger.

Panduan Dropship

Laporkan Penyalahgunaan

Kontributor

Memahami Teknik Pembuatan Garam Rakyat dengan Tehnologi Geomembran

Permasalahan yang ada pada produksi garam rakyat saat ini  adalah kurangnya kualitas dan kuantitas  terhadap kebutuhan garam nasional seirin...

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

Cloud Hosting Indonesia

Mahir Website

Easy import From China

The Power Of Wanita Idaman

Featured

Seni Menjadi Pedagang Online

Tradisi Mane'e di Sulawesi Utara

Kakorotan adalah kawasan kepulauan yang mencakup pulau: Kakorotan, Intata, dan Malo.secara administrative kepulauan tersebut termasuk dalam wilayah kabupaten kepulauan talaud, Sulawesi utara. Di kawasan pulau pulau kecil yang berada di penghujung utara Indonesia itu sejak abad ke-16 ada sebuah upacara adat yg di sebut mane’e yang bermakna “mengambil ikan di laut secara bersama setelah ada musyawarah mufakat”.

Tradisi Mane'e
Mane’e adalah tradisi lisan yang spesifik yang telah berlangsung berabad abad dan diperkirakan berlangsung sebelum abad XV dan terekam melalui sejarah kelisanan mulai abad XIV, saat dokumen dan  catatan sejarah mulai ada.tradisi mane’e di kalangan masyarakat talaud merupakan bagian dari keunikan lokal dan sebuah  peristiwa sosial.

Upacara tradisi mane’e mengandung kearifan kearifan lokal masyarakat yang hidup sangat bersahaja.upacara mane’e bagi masyarakat pulau talaud yang hidup di kawasan pesisir pantai, sebuah pulau kecil di kepulauan talaud merupakan tradisi turun temurun.Tradisi mane’e merupakan tradisi upacara adat masyarakat pesisir kepulauan talaud, yang berisi kegiatan menangkap ikan secara tradisional yang dilakukan setahun sekali pada waktu yang telah di tentukan.

Pelaksanaannya ketika air pasang tertinggi dan pasang surut terendah pada bulan purnama atau awal bulan mati yang didasarkan pada perhitungan pergerakan bintang. Dalam upacara tradisi mane’e diiringi doa atau puji-pujian dalam bentuk mantra. Ikan ikan akan berdatangan dalam kolam kolam buatan yang telah di siapkan. Menyikapi fenomena alam tersebut masyarakat pesisir pulau kakorotan kepulauan talaud melakukan kegiatan menangkap ikan yang disebut mane’e. Tradisi upacara menangkap ikan secara tradisional, dalam pelaksanaanya ada beberapa mantra yang di ucapkan oleh tua adat dan tokoh masyarakat, tetapi tradisi mane’e merupakan tradisi yang unik pada masyarakat pulau kakorotan kepulauan talaud.mereka memilih mane’e sebagai sarana upacara tradisi dalam kegiatan menangkap ikan.

Tradisi upacara mane’e yang dipilih karna didasarkan atas pertimbangan nilai nilai kearifan local, yang terdapat dalam upacara tradisi mane’e, sesuai dengan nilai nilai yang berlaku pada masyarakat pesisir pulau kakorotan saat ini.misalnya nilai nilai keagamaan, pranata sosial dan adat. Bagi pemerintah Sulawesi utara, tradisi mane’e merupakan budaya yang memiliki asset yang paling berharga, yang bisa dijadikan sebagai salah satu daya tarik dibidang pariwisata. Namun, kini upacara mane’e mulai dirasakan oleh sosok tokoh yang bisa memimpin upacara Mane’e kian sulit di temukan.Jangankan untuk memimpin upacara adat, Masyarakat  pesisir pulau kakorotan yang paham akan nyanyian,syair, dan mantra dalam upacara tradisi mane’e pun kini terus berkurang.

PERLENGKAPAN YANG DIPERLUKAN PADA TRADISI MANE'E

Perlengkapan yang perlu dipersipkan dalam upacaramane’e ini adalah ;

  1. Jubih (panah laut)
  2. Saringan / keranjang
  3. Jaring berbentuk segiempat yang terbuat dari janur kelapa dan tali hutan. Jaring ini dibuat secara bergotong royong oleh seluruh warga kakorotan sehingga panjangnya dapat mencapai tiga kilometer.

TAHAPAN DALAM UPACARA MANE'E

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara mane’e juga dilakukan secara bertahap. Ada empat tahap yang harus dilalui dalam upacara ini, yaitu :

  1. Tahap maraca pundagi atau memotong tali hutan yang diadakan tiga hari sebelum tradisi mane’e diadakan;
  2. Tahap doa selamatan yang dipimpin oleh para tetua adat (mangolom para) di pulau kakorotan;
  3. Tahap penentu waktu dan zona upacara di pulau intata ( sekitar 600 meter arah utara pulau kakorotan). Penentu waktu ini didasarkan pada posisi bulan yang akan berpengaru pada pasang surutnya air laut;
  4. Tahap mane’e atau menangkap ikan secara beramai ramai di tepi laut. Sedangkan, pihak pihak yang terlibat dalam upacara mane’e adalah para tetua dat, tokoh masyarakat, warga masyarakat di kepulauan kakorotan, dan sebagian warga di luar kepulauan kakorotan yang mendapat undangan atau ingin menyaksikan jalannya upacara.

PROSESI MANE'E

Setelah masa eha berakhir, para tetua adat di Kepulauan Kakorotan mulai menggambarkan kepada warganya agar mereka bersiap siap untuk mengadakan pesta mane’e baik didarat maupun dilaut secara besar besaran. Kabar ini kemudian disampaikan oleh warga kepada warga lainnya yang sedang merantau atau berada di luar wilayah Kakorotan. Tiga hari sebelum upacara mane’e para warga di Pulau Kakorotan mulai melangsungkan upacara pengambilan tali didalam hutan. Setelah itu, dilanjudkan lagi dengan upacara doa selamatan yang dipimpin oleh para tetua adat (mangolom para) di Pulau Kakorotan. Selanjudnya, diadakan musyawarah untuk menentukan waktu dan tempat upacara mane’e yang disesuaikan dengan peredaran bulan mengelilingi bumi. Pada saat para kepala adat melakukan musyawarah tersebut, warga di Pulau Kakorotan mulai merajut jaring dari bahan janur kelapa dan tali hutan. Setelah jaring siap, pagi hari menjelang upacara jaring janur tersebut di bawa secara beramai ramai untuk di tebarkan( mamoto’ sammi) kelaut yang sedang pasang. Sebelum memasang jaring, mereka membuat semacam kubangan seluas 400 meter persegi yang nantinya akan digunakan untuk memerangkap ikan ketika air laut sedang surut. Saat seluruh peserta upacara telah berada di tepi pantai, menjelang tengah hari jaring yang telah  di pasang tersebut kemudian ditarik kepantai. Penggiringan ikan - ikan ke kubangan itu memakan waktu sekitar empat hingga lima jam. Dan apabila ikan ikan telah terkumpul di kubangan, warga  pun segera menangkap ikan dengan menggunakan jubih (panah laut) , saringan atau dengan tangan kosong. Ikan hasil tangkapan itu kemudian ada yang dibawa pulang dan ada pula yang dibagikan kepada pengunjung atau wisatawan untuk dibakar dan dimakan bersama sama. Ritual mane’e diakhiri dengan doa bersama sebagai rasa syukur kepada Tuhan (Manarimma alama).

Sumber : Olandiani pasa’bi. Tradisi Mane'e

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN PAPUYU

Guna lebih memperkaya jenis & varietas Ikan Papuyu yg beredar pada masyarakat, sudah didapatkan Ikan Papuyu yg adalah hasil domestikasi yg dilakukan oleh Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Dalam rangka menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya dan peningkatan produksi, pendapatan, & kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Papuyu. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan & Perikanan NOMOR 40/KEPMEN-KP/2014 mengenai PELEPASAN IKAN PAPUYU.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Hukum Adat Sasi di Maluku

Sasi merupakan tata cara spesifik yang berlaku hampir pada seluruh pulau pada Provinsi Maluku (Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep. Lease, Watubela, Banda, Kep. Kei, Arudan Kep. Barat Daya & Kep. Tenggara di bagian barat daya Maluku) dan Papua (Kep. Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Nabire, Biak & Numfor, Yapen, Waropen, Sarmi,Kaimana & Fakfak). Sasi juga mempunyai nama lain, yakni Yot di Kei Besar & Yutut pada Kei Kecil. Sasi jua dikenal sebagai cara pengolahan asal daya alam pada desa-desa pesisir Papua.

Sasi bisa diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam eksklusif sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu & populasi sumberdaya biologi (hewani maupun botani) alam tadi. Karena peraturan-peraturan pada pelaksanaan embargo ini pula menyangkut pengaturan interaksi insan dengan alam & antar insan dalam daerah yang dikenakan embargo tadi, maka sasi, dalam hakikatnya, jua merupakan suatu upaya buat memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan menurut output sumberdaya alam kurang lebih pada semua rakyat/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara merogoh kebijakan pada pengambilan hasil bahari & output pertanian. Tetapi, secara umum, sasi berlaku pada masayarakat menjadi bentuk etika tradisional. Sasi nir berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian & pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu & kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yg dimiliki. Seperti yg kita tahu, bahwa taboo atau tabu berfungsi buat menjaga kestabilan hayati masyarakat. Tabu sering dikaitkan menggunakan sesuatu yg terlarang, lantaran akan menyebabkan pengaruh jelek bagi orang yang melanggar tabu.

Ada tiga hal penting pada ketentuan ?Aturan adat sasi?, yaitu ;

  1. Terdapat  larangan  memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.
  2. Ketentuan  sasi   tidak  saja  mencakup  lingkungan  alam, tetapi  juga  lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia.  Misalnya, melarang masyarakat bepergian keluar  desa  karena alasan  tertentu,  melarang   bentuk-bentuk   keramaian   pada  waktu tertentu seperti pada saat upacara adat, membangun baileu (rumah adat).
  3. Ketentuan hukum sasi, ditetapkan oleh masyarakat  atas  prakarsa  mereka  sendiri dan pengawasan pelaksanaannya diselenggarakan oleh masyarakat kewang (polisi adat) yang tidak dibayar oleh pemerintah.

TUJUAN SASI

Dengan demikian tujuan sasi adalah ;

  1. Menjaga ketertiban dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga terjadinya pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut.
  2. Mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat, menurut waktu yang ditentukan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan hasil produksi tanaman.
  3. Menumbuhkan tingkah laku dan pola pikir masyarakat yang berwawasan lingkungan terhadap generasi berikutnya.

DASAR HUKUM DAN KELEMBAGAAN SASI

Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; pada Haruku dianggap Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku"). Keputusan kerapatan norma inilah yang dilimpahkan wewenang pelaksanaannya kepada forum Kewang, yakni suatu lembaga istiadat yang ditunjuk buat melaksanakan supervisi terhadap aplikasi peraturan peraturan sasi tersebut.

Lembaga Kewang pada Haruku dibentuk semenjak sasi terdapat dan diberlakukan pada desa ini. Struktur kepengurusannya merupakan menjadi berikut:

  1. Seorang Kepala Kewang Darat;
  2. Seorang Kepala Kewang Laut;
  3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
  4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
  5. Seorang Sekretaris
  6. Seorang Bendahara
  7. Beberapa orang Anggota.

Adapun para anggota Kewang dipilih menurut setiap soa (marga) yg terdapat di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat berdasarkan warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya menggunakan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban:

  1. Mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar;
  2. Melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya;
  3. Menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi;
  4. Memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta
  5. Menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

KLASIFIKASI SASI

Ada beberapa jenis sasi yang dikenal sang warga Maluku, diantaranya ;

  1. Sasi Negeri ; atau disebut juga sasi adat .  Sepenuhnya dilakukan secara adat, dipimpin oleh kepala desa (raja) yang betindak sebagai kepala persekutuan hukum-hukum adat di desanya, dibantu oleh perangkat desa (tua-tua adat) yang terdiri dari kepala soa, mauweng dan kewang. Adapun fungsi mereka adalah  (1) kepala soa berfungsi membantu raja dalam mengatur jalannya upacara adat, pada waktu “buka sasi” dan “tutup sasi”; (2) mauweng berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat adat dengan roh-roh para leluhur ; (3) kewang berfungsi untuk mengatur teknis pelaksanaan sasi di lapangan dan sekaligus mengawasi setiap pelanggarannya.
  2. Sasi Darat ; dikenakan pada hasil-hasil di daratan seperti hasil tanaman dan hasil hutan. Menurut tempat maupun jenisnya, kita mengenal sasi hutan, sasi rotan, sasi damar, sasi batu, sasi kali, sasi kelapa, sasi lemong (jeruk) dan sebagainya.
  3. Sasi Laut ; dikenakan terhadap hasil laut. Menurut jenisnya biasanya dikenal dengan sasi kawalinya, sasi lompa, sasi make, sasi teripang, dan sebagainya.
  4. Sasi Perorangan ; biasanya dilakukan oleh satu keluarga (extended family). hanya terbatas pada milik keluarga (= kebun, hutan) tersebut.  pelaksanaan dan pengawasannya juga, hanya terbatas pada keluarga tersebut.  Pemerintah desa, hanya mendapat pemberitahuan.

Sasi berdasarkan lokasi dan jenis sumber daya alam. Sasi jua bisa diberlakukan lokasi-lokasi & jenis-jenis asal daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok primer, yakni sebagai berikut:

1. Di laut (Sasi laut), sasi tersebut diberlakukan berdasarkan batas air surut ke batas awal air yang pada pada ketika tertentu, yakni menjadi berikut :

  • Menangkap ikan seperti lompa (Thryssa baelama) (Engraulidae) serta jenis ikan lainnya, termasuk teripang (Holothuroidea) dan udang;
  • Menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu;
  • Menangkap ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil (redi karoro);
  • Menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun;
  • Menangkap ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu;
  • Mengambil lola (Trochus niloticus), karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir;
  • Mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.

Dua. Di sungai (Sasi kali) pada ketika :

  • Menangkap ikan dan udang;
  • Menangkap ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil;
  • Menangkap ikan dengan bom atau racun;
  • Mengumpulkan kerikil dan pasir;
  • Menebang pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.

3. Di Daratan (Sasi hutan) dalam saat :

  • Mengambil hasil pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkeh, pala, langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya;
  • Mengambil daun sagu untuk atap rumah;
  • Menebang pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar;
  • Menebang pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;
  • Menebang pohon pada lereng-lereng tertentu;
  • Penghijauan;
  • Berburu burung mamalia di hutan.

4. Di pantai (Sasi pantai) pada saat:

  • Mengambil hasil hutan mangrove;
  • Mengambil telur burung gosong/maleo yang hitam.

Sumber : 1) http://www.kewang-haruku.org/sasi.html; 2) Wulan. Sasi di Maluku; 3) Lizza Laelatul Izzah Zaen. Dilema Sistem dat Sasi dan Kuasa Pemerintah Menjaga Sumber Daya lam Pulau Maluku; 4) http://budaya-indonesia.org/Tradisi-Sasi

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA

Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Mas yang tersebar di masyarakat, telah dihasilkan Ikan Mas Merah Najawa menjadi jenis ikan baru output domestikasi yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Daerah spesial Yogyakarta.

Dalam rangka menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya dan peningkatan produksi, pendapatan, & kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Mas Merah Najawa. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 mengenai PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Tradisi Petik Laut di Banyuwangi

Sebagai negara bahari yg besar , bahari nir bisa dipisahkan begitu saja menurut negeri ini. Laut merupakan asal berdasarkan segala rezeki yg bisa dipanen kapan saja. Laut merupakan gudang harta yg wajib dijaga dan dihormati sampai kapan pun terutama bagi mereka yg bermata pencaharian menjadi nelayan.

Sebagai wujud rasa syukur & juga hormat kepada alam, beberapa warga pada Indonesia kerap melakukan tradisi sesaji kepada laut. Pada bulan-bulan eksklusif nelayan atau penduduk di pesisir pantai melakukan larung sesaji ke samudera . Salah satu tradisi larung sesaji yang cukup terkenal di Indonesia adalah Petik Laut yg diadakan di Muncar, Banyuwangi. Berikut cerita tentang sedekah bumi termegah pada Indonesia itu.

SEJARAH PETIK LAUT

Tidak ada yang tahu kapan tradisi Petik Laut mulai diadakan di Muncar, Banyuwangi. Menurut penuturan para sesepuh yang ada di sana, tradisi ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Para nelayan yang berasal dari etnik Madura memulai tradisi ini dibantu oleh nelayan dari daerah lain yang kebetulan juga bekerja dan menangkap ikan di kawasan perairan Muncar dan sekitarnya.
Kapal hias memeriahkan acara petik laut [sumber]

Tradisi yang awalnya hanya buat syukuran hasil laut yg melimpah mendadak berubah menjadi semacam pesat rakyat. Petik Laut merupakan event tahunan yg digarap menggunakan sangat apik sang rakyat lokal sana. Mereka akan mendedikasikan poly waktunya buat menghias bahtera hingga menyiapkan segala keperluan yg terdapat sampai lengkap pada hari Petik Laut berlangsung.

TUJUAN PETIK LAUT

Tujuan utama dari Petik Laut adalah untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan banyak rezeki kepada nelayan. Setiap tahun, nelayan bisa memanen banyak ikan seperti tidak ada habisnya. Sebagai wujud rasa syukur itu, warga melakukan sedekah laut dengan mengarak banyak kapal yang telah diberi hasil bumi dan beberapa sesaji lainnya.
Meriahnya acara petik laut [sumber]

Selain bersyukur kepada Tuhan, prosesi ini pula dilakukan buat menaruh persembahan kepada penguasa bahari selatan. Tidak bisa dimungkiri lagi, bagi pelaut atau nelayan, kekuatan nir kasat mata pada laut selatan masih dianggap dengan kuat. Selain pada penguasa bahari selatan, upacara larung sesaji ini jua dilakukan buat menghormati leluhur yang sudah mengajarkan mereka cara menangkap ikan dengan benar pada samudera .

PROSESI PETIK LAUT

Prosesi Petik Laut diadakan dengan mengumpulkan banyak barang sesaji. Benda yang harus ada untuk prosesi ini adalah kepala kambing hitam dengan badan yang berwarna putih. Kelak kepala kambing ini akan diberi pancing yang terbuat dari emas dan ditancapkan pada lidahnya. Saat prosesi dilakukan, kepala ini akan dilarung ke lautan sebagai wujud rasa syukur yang tiada batasnya.
Melarung sesaji sebagai salahsatu prosesi Petik Laut [sumber]

Sebelum arak-arakan menuju daerah samudera dilakukan, sesaji akan diarak keliling desa. Para penari gandrung akan menyambut arak-arakan itu sebelum akhirnya naik ke atas bahtera. Setelah semua sesaji dinaikkan ke atas kepal, mereka akan segera menuju tengah lautan yg berarus tenang. Satu per satu sesaji yang dibawa akan dilemparkan ke lautan. Oh ya, pada prosesi ini umumnya terdapat masyarakat yang terjun ke samudera untuk merogoh barang-barang yang telah dilemparkan itu.

NILAI BUDAYA DALAM PETIK LAUT

Nilai budaya yang terkandung dalam ritual Petik laut ini sangatlah besar. Warga menjunjung tinggi dan menjaga laut mereka yang memberikan rezeki tanpa batas. Dengan adanya tradisi ini, mereka akan menjaga lautan dari perusakan agar terus mendapatkan banyak limpahan rezeki. Tanpa laut, hidup mereka tidak akan berjalan dengan baik.
Nelayan bergotong royong menghias kapal [sumber]

Selain unsur budaya, unsur kekeluargaan juga terlihat menggunakan sangat akbar pada prosesi ini. Semua rakyat bahu-membahu pada menyiapkan program. Mereka akan bersama-sama menyukseskan program yg sangat penting bagi mereka. Tidak terdapat si kaya atau si miskin, seluruh melakukan pekerjaan bersama-sama demi kemakmuran.

Sumber : Adi Nugroho. Petik Laut, Tradisi Larung Sesaji Termegah di Indonesia yang Diadakan Saat Bulan Suro

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN GURAMI GALUNGGUNG SUPER

Guna lebih memperkaya jenis ikan gurami yang beredar di rakyat, telah dihasilkan Ikan Gurami Galunggung Super sebagai jenis ikan baru yang merupakan output hibridisasi.

Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 51/KEPMEN-KP/2018 mengenai PELEPASAN IKAN GURAMI GALUNGGUNG SUPER.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Tradisi menangkap Ikan Dengan teknik Huhate Di Larantuka

Huhate tidak dapat dipisahkan menggunakan para nelayan pemburu Cakalang. Kegiatan memancing Cakalang lebih banyak menggunakan huhate buat mendapatkan ikan pada jumlah banyak tetapi menggunakan ketika yang nisbi lebih singkat. Konon seseorang pemancing sanggup memancing 40 ? 50 ekor per mnt.

Kelompok Nelayan di Larantuka menerapkan praktik perikanan yang bersahabat dan berkelanjutan dengan teknik Huhate (pole and line). Ini adalah solusi yang harus kita sebar luas demi menjaga masa depan laut kita tetap sehat dan terlindung dari praktik penangkapan ikan yang merusak

Untuk memancing memakai huhate, umumnya kelompok nelayan memakai kapal khusus yang dimodifikasi sedemikian rupa sebagai akibatnya pemancing bisa duduk atau berdiri mengelilingi tepian kapal.

Huhate sebenarnya mirip seperti joran yg dipakai kebanyakan nelayan, namun masih sangat tradisional. Tangkai pancingnya menggunakan bambu spesifik yang lentur, kemudian kail yg nir berkait diikat dalam seutas tali. Pada kail Huhate umumnya diberi bulu ayam atau rabat tali rafia sehingga menyamarkannya menurut penglihatan ikan. Tak lupa diberi pemberat buat memudahkan pemancing mengarahkan kailnya ke bahari. Apabila tidak menggunakan pemberat, kemungkinan besar kail akan melayang tidak karuan lantaran angin.

Umpan yang digunakan adalah ikan teri yg diambil menurut pukat teri atau bagan, diusahakan permanen hayati agar lebih gampang memancing sekumpulan cakalang. Untuk memulai pemancingan, pertama-tama para nelayan mencari posisi ikan, kemudian umpan dilepas disekitar kapal sesudah itu kegiatan memancingpun dilakukan. Hampir semua tepian kapal masih ada instalasi pipa buat menyemprotkan air guna mengelabuhi ikan.

Memancing menggunakan memakai huhate terbilang sangat efektif, lantaran ikan-ikan kecil tidak ikut tertangkap.

HUHATE (POLE AND LINE)

Sebelum pemancingan, dilakukan penyemprotan air untuk mempengaruhi visibility ikan terhapap kapal atau para pemancing. Adanya faktor umpan hidup inilah yang membuat cara penangkapan ini menjadi agak rumit. Hal ini disebabkan karena umpan hidup harus sesuai dalam ukuran dan jenis tertentu, disimpan, dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan hidup. Ini berarti diperlukan sistem penangkapan umpan hidup dan desain kapal yang sesuai untuk penyimpanan umpan supaya umpan hidup dapat tahan sampai waktu penggunaannya. Secara umum alat tangkap pole and line terdiri atas joran (bambu atau lainnya) untuk tangkai pancing, /polyethylene/ untuk tali pancing dan mata pancing yang tidak berkait terbalik.
Alat tangkap huhate (pole and line)

Terdapat beberapa keunikan dari alat tangkap huhate. Bentuk mata pancing huhate tidak berkait misalnya lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan rafia yg halus supaya tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal huhate memiliki konstruksi spesifik, dimodifikasi menjadi lebih panjang, sebagai akibatnya bisa dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya berukuran mini . Di dinding bagian lambung kapal, beberapa centimeter pada bawah dek, masih ada sprayer dan di dek terdapat beberapa loka ikan umpan hidup. Sprayer adalah indera penyemprot air.

Alat tangkap pole and line ini merupakan sebagi berikut:

1. Joran (galah)

Bagian ini terbuat dari bambu yang cukup tua dan mempunyai tingkat elastisitas yang baik. Yang umum digunakan adalah bambu yang berwarna kuning. Panjang joran berkisar 2 – 2,5 m dengan diameter pada bagian pangkal 3 – 4 cm dan bagian unjuk sekitar 1 – 1,5 cm. Sebagaimana telah banyak digunakan joran dari bahan sintesis seperti plastik atau fibres.
Salah satu bentuk jorang huhate dari bambu

2. Tali utama (main line)

Terbuat dari bahan sintesis/polyethylene/ dengan panjang sekitar 1,5 – 2 m yang disesuaikan dengan panjang joran yang digunakan, cara pemancingan, tinggi haluan kapal dan jarak penyemprotan air. Diameter tali 0,5 cm dan nomor tali adalah No 7.
Bagian - bagian dari alat tangkap huhate (pole and line)

tiga. Tali sekunder

Terbuat dari bahan monofilament berupa tali berwarna putih sebagai pengganti kawat baja /(wire leader)/ dengan panjang berkisar 20 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terputusnya tali utama dengan mata pancing sebagai akibat gigitan ikan cangkalang.
Bagian - bagian dari alat tangkap huhate (pole and line)

4. Mata pancing /(hook) Yang tidak berkait balik

Nomor mata pancing yang digunakan adalah 2,5 – 2,8. Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk slinder dengan panjang sekitar 2 cm dan berdiameter 8 mm dan dilapisi nikel sehingga berwarna mengkilap dan menarik perhatian ikan cangkalang. Selain itu, pada sisi luar silender terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali sekunder. Dibagian mata pancing dilapisi dengan guntingan tali rafia berwarna merah yang membungkus rumbia-rumbia tali merah yang juga berwarna sebagai umpan tiruan. Pemilihan warna merah ini disesuaikan dengan warna ikan umpan yang juga berwarna merah sehingga menyerupai ikan umpan.
Bentuk mata pancing huhate (pole and line)

Dalam aplikasi operasi dengan alat pole and line ini pada samping digunakan umpan tiruan berupa sobekan-sobekan kain, guntingan tali rafia, ataupun bulu ayam juga digunakan umpan hidup. Umpan hidup ini digunakan buat lebih menarik perhatian ikan cakalang agar lebih mendekat pada areal buat melakukan pemancingan. Sedangkan pada melakukan operasi pemancingan digunakan pancing tanpa umpan. Hal ini bertujuan buat efisiensi & efektifitas alat tangkap, lantaran ikan cakalang termasuk pemangsa yg rakus. Hal ini sesuai menggunakan pendapat ayodhya (1981) bahwa jika ikan makin poly & makin bernafsu memakan umpan, maka digunakan pancing tanpa umpan & mata pancing ini tidak beringsang

(nir berkait).

5. Umpan

Umpan yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan.
Ikan teri yang digunakan sebagai umpan

Selanjutnya dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri /(Stolephorus spp.).

TEKNIK PENGOPERASIAN

Teknik operasi penangkapan ikan menggunakan pole and line yaitu, sehabis semua persiapan sudah dilakukan, termasuk penyediaan umpan hayati, maka dilakukan pencarian grup ikan sang seorang pengintai yang tempatnya umumnya dianjungan kapal, & memakai teropong. Pengoperasian bisa jua dilakukan didekat rumpon yg sudah dipasang terlebih dahulu. Setelah menemukan gerombolan ikan wajib diketahui arah renang ikan tadi baru lalu mendekati gerombolan ikan tadi. Sementara pemancing sudah harus bersiap masing-masing dalam sudut kiri kanan dan haluan kapal. Cara mendekati ikan wajib menurut sisi kiri atau kanan dan bukan dari arah belakang.

Pelemparan umpan dilakukan oleh /bouy-bouy/ setelah diperkirakan ikan telah berada dalam jarak jangkauan pelemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan tersebut, mesin penyomprot sudah difungsikan agar ikan tetap berada didekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan kelaut dikurangi, mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Pemancingan biasanya berlangsung 15-30 menit.
Nelayan sedang menangkap ikan denga alat tangkap huhate

Waktu pemancingan tidak perlu dilakukan pelepasan ikan menurut mata pancing disebabkan dalam saat joran disentuhkan ikan akan jatuh keatas kapal & terlepas sendiri menurut mata pancing yg tidak berkait. Berdasarkan pengalaman atau keahlian memancing nelayan, pemancing kadang dikelompokkan kedalam pemancing kelas I, II, & III. Pemancing kelas I (lebih berpengalaman) ditempatkan dihaluan kapal, pemancing kelas II ditempatkan disamping kapal, dekat kehaluan, sedangkan pemancing kelas III ke samping kapal relatif jauh dari haluan. Untuk memudahkan pemancingan, maka dalam kapal Pole and Line dikenal adanya ?Flying deck? Atau loka pemancingan.

Pemancingan dilakukan serempak sang semua pemancing. Pemancing duduk pada sekeliling kapal menggunakan pembagian grup berdasarkan keterampilan memancing. Pemancing I adalah pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan sebanyak 50-60 ekor per mnt.

Pemancing I diberi posisi di bagian haluan kapal, dimaksudkan supaya lebih poly ikan tertangkap.

Pemancing II diberi posisi di bagian lambung kiri & kanan kapal. Sedangkan pemancing III berposisi di bagian buritan, umumnya merupakan orang-orang yang baru belajar memancing & pemancing berusia tua yang tenaganya telah mulai berkurang atau sudah lamban. Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam ketika pemancingan dilakukan jangan terdapat ikan yg lolos atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan kelompok ikan menjauh menurut sekitar kapal.

Hal lain yang perlu diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah terpancing, jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil waktu. Di samping itu, banyaknya ikan-ikan kecil di perairan sebagai /natural bait/ akan menyebabkan kurangnya hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap Pole and Line.

Sumber : disini

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN BANDENG GONDOL

Guna buat lebih memperkaya jenis ikan bandeng yg tersebar di warga , telah didapatkan benih sebar Ikan Bandeng Gondol yg merupakan hasil domestikasi. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 52/KEPMEN-KP/2018 tentang PELEPASAN IKAN BANDENG GONDOL.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :

Tradisi Bameti dan Balobe Di Maluku Tengah

TRADISI BAMETI

Kegiatan bameti dilakukan hampir pada seluruh negeri pada pulau Saparua, apalagi dalam negeri-negeri yang memiliki hamparan pantai yg luas. Kegiatan ini umumnya dilakukan dalam saat air meti (air surut) dan lebih banyak dilakukan sang kaum wanita & biasanya pada ketika animo timur di mana ikan banyak dan gelombang besar . Ada beberapa bentuk aktivitas bameti yaitu :

  1. Amanisa/amunisa adalah alat tangkap ikan yang dibuat dari anyaman bamboo bentuknya bulat memanjang di mana salah satu sisinya dibuat berlubang sebagai pintu masuknya ikan. kegiatan ini biasanya dilakukan oleh orang perempuan. Caranya amanisa di letakan di dalam kolam dan ketika batu diangkat maka ikan-ikan yang bersembuyidi bawah batu tersebut akan masuk ke dalam amanisa, kemudian pintu amanisa ditutup. Kegiatan ini dapat dilakukan pada beberapa tempat yang diyakini ada ikannya, dan biasanya kegiatan ini dilakukan pada saat meti di musim timur. Selain metinya panjang, dimusim ini ikannya banyak, sehingga bamate amanisa dapat dilakukan dengan mudah.
  2. Keong laut
  3. Gale (gali) taripang adalah kegiatan menggali jenis teripang tertentu. Bagi mereka yang sudah berpengalaman mereka tahu betul tempat teripang ini hidup. Biasanya jenis teripang ini hidup bekelompok dalam pasir dan karang. Dengan begitu harus memakai linggis sebagai alat untuk menggali lobang untuk menemukan teripang-teripang ini. Jenis taripang seperti ini di Negeri Booi dinamakan Teripang Sai-sai.
    Teripang

Cari Bia : biasanya dapat dilakukan oeh siapa saja, orang tua, anak kecil, laki, perempuan. Ketika air meti (air surut) mereka kemudian mencari jenis-jenis siput atau keong laut (Bia) dengan cara menggali. Kegiatan ini dapat dikatakan gampang-gampang susah, artinya yang belum berpengalaman pasti akan merasa sulit, karena harus bisa membedakan bentuk keong atau siput tertentu dengan batu-batu kecil yang berlumut. Dalam hal mencari bia ada jenis bia tertentu yang sering menjadi sasaran pencarian yaitu mencari bia sageru (nama bia ini lazim di Lease).

Mencari bia sageru ini unik, bia ini umumnya bersembunyi pada dalam pasir & yang kelihatan adalah lubang-lubang mini dipermukaan. Untuk dapat memangkapnya harus menggunakan potongan lidi menggunakan ukuran kira-kira 30 cm dengan diameter seukuran tusuk sate, Cara tangkapnya lidi ditusuk sempurna ke pada ke dalam lubang kecil tadi, bila kena bia akan menutup tubuhnya dan tertancap dilidi, namun apabila nir bia akan membenamkan diri lebih jauh ke dalam pasir. Mencari bia ini harus berjalan perlahan-huma lantaran sangat sensitif sekali bia ini.

TRADISI BALOBE

Kegiatan balobe sama saja dengan kegiatan bameti, hanya balobe dilakukan pada malam hari.
Warga yang telah melaksanakan balobe

Balobe umumnya buat mencari ikan atau gurita dengan menggunakan obor atau lampu. Alat yg digunakan buat balobe merupakan parang, Kalawai (sejenis tombak, yg bermata 2-5 cm), Kurkunci ( besi mini yg galat satu ujungnya pada tajamkan & menggunakan taji/sanggi-sanggi yg sengaja pada buat menjadi indera pelengkap Kalawai. Jika dibandingkan menggunakan kegiatan bameti, balobe lebih mudah menerima ikan, karena malam hari ikan atau Gurita terkesan jinak tinggal di pangkas atau pada tikam menggunakan Kalawai atau Kurkunci.

Sumber : disini

Semoga Bermanfaat...

SOSIALISASI PELEPASAN IKAN TAMBAKAN TAKHASI

Guna lebih memperkaya jenis ikan tambakan yg tersebar pada masyarakat, sudah didapatkan benih sebar Ikan Tambakan Takhasi yang adalah hasil domestikasi. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 54/KEPMEN-KP/2018 tentang PELEPASAN IKAN TAMBAKAN TAKHASI.

Sumber:

http://jdih.Kkp.Go.Id/

#Tag :