Loading Website
Diberdayakan oleh Blogger.

Panduan Dropship

Laporkan Penyalahgunaan

Kontributor

Memahami Teknik Pembuatan Garam Rakyat dengan Tehnologi Geomembran

Permasalahan yang ada pada produksi garam rakyat saat ini  adalah kurangnya kualitas dan kuantitas  terhadap kebutuhan garam nasional seirin...

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

Cloud Hosting Indonesia

Mahir Website

Easy import From China

The Power Of Wanita Idaman

Featured

Seni Menjadi Pedagang Online

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi menyatakan bahwa hal tadi berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas dan dampak pasang surut.

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934) melaporkan bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman, 1976a). Di Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian – Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991).

Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989). Kondisi salinitas sangat menghipnotis komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas menggunakan cara yang bhineka. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam berdasarkan media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar spesifik pada daunnya.

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 ppt (MacNae, 1966;1968). Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 ppt. Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40 ppt, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 ppt, Ceriops tagal pada salinitas 60 ppt dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 ppt (Chapman, 1976a). Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 ppt. MacNae (1968) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum untuk B. parviflora adalah 20 ppt, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 ppt.

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir (van Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis - jenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea.

Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian Jaya (Erftemeijer, dkk, 1989). Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai, serta kecuramannya.

Sumber : Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia.2006.

Semoga Bermanfaat...

Checking your browser before accessing

This process is automatic. Your browser will redirect to your requested content shortly.

Please allow up to 5 seconds…

DDoS protection by Cloudflare
Ray ID: