Loading Website
Diberdayakan oleh Blogger.

Panduan Dropship

Laporkan Penyalahgunaan

Kontributor

Memahami Teknik Pembuatan Garam Rakyat dengan Tehnologi Geomembran

Permasalahan yang ada pada produksi garam rakyat saat ini  adalah kurangnya kualitas dan kuantitas  terhadap kebutuhan garam nasional seirin...

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

Cloud Hosting Indonesia

Mahir Website

Easy import From China

The Power Of Wanita Idaman

Featured

Seni Menjadi Pedagang Online

METODE DAN TEKNIK PPENYULUHAN PERIKANAN

Sumber: PusluhdayaKP, 2016

#Tag :

PENYUSUNAN PROGRAMA DAN RENCANA KERJA PENYULUHAN PERIKANAN

Sumber: Pusluhdaya, 2016

#Tag :

Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional

Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional diselenggarakan pada tanggal 17 s/d 19 Maret2015 bertempat di Wisma Tani Jakarta, dibuka secara resmi oleh Direktur Perbenihan, dihadiri oleh peserta yang berasal dari Eselon III dan petugas admin lingkup Dit. Perbenihan, Perwakilan Direktorat Produksi dan petugas data perbenihan dari seluruh UPT Ditjen Perikanan Budidaya dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi seluruh Indonesia.

Hasil diskusi & pemaparan materi berdasarkan narasumber diantaranya :

I. DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

1.         Melakukan validasi terhadap data perbenihan (produksi dan distribusi komoditas perikanan air tawar, payau/laut, bibit rumput laut serta keragaan unit pembenihan ) yang disampaikan oleh petugas data perbenihan Provinsi dan UPT Ditjen Perikanan Budidaya;

2.        Menerbitkan buku tahunan data produksi benih dan distribusi perbenihan secara nasional;

3.         Melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pendataan perbenihan di seluruh provinsi

4.        Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain dalam rangka pengembangan sistem informasi dan distribusi perbenihan.

II. UPT DITJEN PERIKANAN BUDIDAYA

  1. Melengkapi data perbenihan tahun 2014 dan mengirimkan kepada Subdirektorat Informasi dan Distribusi Perbenihan selambat-lambatnya 1 minggu setelah kegiatan “Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional” selesai dilaksanakan, sesuai dengan format yang telah ditetapkan
  2. Melakukan pencatatan data produksi dan distribusi perbenihan dengan cara  pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perbenihan UPT
  3. Melakukan koordinasi data perbenihan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
  4. Mengikuti validasi data produksi dan distribusi perbenihan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
  5. Mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh DJPB terkait sistem informasi dan distribusi perbenihan
  6. Melaporkan hasil pengolahan data perbenihan setiap triwulan kepada DJPB sesuai form yang telah disampaikan.

III. DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI

  1. Melengkapi data perbenihan tahun 2014 dan mengirimkan kepada Subdirektorat Informasi dan Distribusi Perbenihan selambat-lambatnya 1 minggu setelah kegiatan “Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional” selesai dilaksanakan, sesuai dengan format yang telah ditetapkan
  2. Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perbenihan yang diperoleh dari UPTD Prov/Kab/Kota, unit pembenihan di masyarakat dan unit pembenihan swasta
  3. Mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh DJPB terkait sistem informasi dan distribusi perbenihan
  4. Melakukan koordinasi dengan instansi lainnya terkait dengan data distribusi induk dan benih (Balai karantina ikan, Asosiasi/supplier benih dan induk, Badan Pusat Statistik Prov/Kab/Kota, Balitbang, dll)
  5. Melaporkan hasil pengolahan data perbenihan setiap triwulan kepada DJPB sesuai form yang telah disampaikan
  6. Menerbitkan buku data perbenihan Provinsi
  7. Melakukan pendataan unit perbenihan swasta yang berada di wilayahnya masing- masing

Demikian beberapa hal tindak lanjut yang akan sebagai acuan masing-masing pihak dalam melaksanakan kegiatan sistem kabar dan distribusi perbenihan.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/228/Sinkronisasi-Data-Produksi-dan-Distribusi-Perbenihan-Nasional/?category_id=10

#Tag :

KKP TARGETKAN 10 RIBU SERTIFIKASI BUDIDAYA IKAN

Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) memasang target lebih menurut 10 ribu tunjangan profesi Cara Budidaya Ikan yg Baik (CBIB) pada tahun 2016 ini. Semakin terbukanya pasar ekonomi, baik regional maupun dunia, menuntut peningkatan mutu produk perikanan budidaya, yang aman dikonsumsi, memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, kesehatan dan kenyamanan ikan dan sosial ekonomi, pada proses produksinya.

“Empat aspek yang saat ini di syaratkan dalam proses Sertifikasi CBIB, yaitu Food Safety, Animal Welfare, Sustainability, dan Social Impact, selaras dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti,  yang mendorong pembangunan perikanan budidaya menuju keberlanjutan.,” kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam Rapat Koordinasi Sertifikasi CBIB tingkat Nasional, Rabu (25/05).

Menurut Slamet, capaian kinerja tunjangan profesi CBIB yg dilakukan Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP) berdasarkan tahun ke tahun meningkat cukup signifikan. Tercatat, dalam tahun 2014 capaian kinerja Sertifikasi 126,4 persen atau 10.112 unit dari target 8.000 unit pembudidayaan ikan yang tersertifikasi. Pada tahun 2015 sertifikasi CBIB mencapai 10.672 unit atau meningkat sebesar 5,54 % dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan buat sasaran tunjangan profesi CBIB dalam tahun 2016 adalah 10.980 unit.

Untuk memenuhi target tadi, diperlukan kegiatan yang terintegrasi dan sedikit demi sedikit melalui pelatihan bagi pembudidaya & petugas. Sedangkan penerapan prinsip-prinsip CBIB pada unit pembudidayaan ikan akan dilanjutkan menggunakan penilaian kesesuaian.

? Dari tahun 2013, kinerja CBIB menjadi salah satu indikator kinerja yg dipantau & dievaluasi oleh Unit Kerja Kepresidenan secara periodik. Langkah ini menampakan keseriusan pemerintah dalam upaya mempertinggi kualitas output perikanan budidaya sebagai akibatnya mampu mempunyai daya saing tinggi di pasar global demikian pula meningkat serapannya pada pasar lokal,? Jelas Slamet.

Slamet menegaskan, untuk mendukung capaian kinerja tunjangan profesi CBIB, mulai tahun 2013, wewenang sertifikasi CBIB telah didelegasikan kepada 15 Provinsi. Daerah yg terpilih yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara. Sedangkan Ditjen Perikanan Budidaya melakukan training terhadap personil pada provinsi-provinsi tadi dan sekaligus melakukan monitoring pelaksanaannya.

?Saat ini, sertifikasi CBIB, sifatnya masih training & tanpa dipungut biaya . Ke depan, pencerahan masyarakat akan pentingnya sertifikasi CBIB akan sangat dibutuhkan sehingga peningkatan mutu produksi perikanan budidaya akan tercapai dengan penerapan CBIB secara berdikari sang masyarakat. Peningkatan produksi dan terjaminnya mutu hasil perikanan budidaya, menjadikan warga pembudidaya sejahtera,? Ucapnya.

Slamet menjelaskan, sejalan menggunakan tiga pilar pembangunan, yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, perikanan budidaya juga akan pada bangun buat menjadi berdikari, berdaya saing dan berkelanjutan melalui koordinasi, komunikasi, dan kerjasama.

Untuk dapat memproduksi produk perikanan budidaya yg memenuhi persyaratan mutu tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja. Namun pula diharapkan adanya Sistem Jaminan Mutu melalui penerapan CBIB semenjak pra produksi sampai menggunakan pasca produksi.

Kedepan KKP melalui Ditjen PB akan lebih menaikkan & memperkuat lagi beberapa kerjasama beberapa acara pemerintah yang terintegrasi. Sehingga imbas peningkatan pendapatan bisa dirasakan pribadi oleh warga . ?Diharapkan impak tersebut bisa mendorong rakyat menuju Masyarakat Perikanan Budidaya yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan,? Pungkas Slamet.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/398/KKP-TARGETKAN-10-RIBU-SERTIFIKASI-BUDIDAYA-IKAN/?category_id=11

#Tag :

MENGENAL RUMPON

Saat anda mempelajari metoda penangkapan yang mendasari teknologi penangkapan ikan, terdapat empat faktor utama yang harus anda pahami, yaitu: Ikan apa yang hendak ditangkap (Biologi Ikan),  dimana ikan akan ditangkap (fish ground), bagaimana sifatnya (fish behaviour) dan berapa jumlah yang akan/boleh ditangkap (stock assessments dan kelestarian).  Dari keempat faktor di atas, fish ground merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan penangkapan ikan, tanpa mengetahui fish ground ikan yang menjadi tujuan daerah penangkapan adalah pekerjaan menangkap ikan yang sia-sia.  Fish ground di alam merupakan suatu lingkungan kehidupan yang disukai ikan untuk berkumpul.  Berbagai faktor yang menyebabkan ikan mau berkumpul di lingkungan yang sesuai untuknya, yang dapat dipelajari pada mata kuliah biologi perikanan.  Secara umum ikan akan berkumpul saat makan, saat hendak memijah, dan saat bermigrasi (tuna adalah ikan yang bersifat higly migratory).

Sebuah pertanyaan yang selalu menggelitik para nelayan adalah bagaimana menangkap ikan yang paling mudah.  Jawabannya sederhana mungkin “jawaban bodoh” adalah menangkap ikan yang sedang “ngumpul” dan syukur-syukur “diem”.   Pernyataan “ngumpul dan diem” inilah yang memacu para nelayan berupaya mengumpulkan ikan dengan berbagai cara.  Cara yang sudah lama kita kenal adalah dengan menggunakan rumpon (fish agregate device) dan menggunakan atraksi cahaya.

Mencari fish ground alam bukan pekerjaan mudah. Contoh yang paling sederhana adalah pada penangkapan ikan kembung dengan menggunakan payang tradisional,  kumpulan ikan hanya dapat diketahui oleh para nelayan yang sudah berpengalaman, atau berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari orang-orang tua mereka, bahkan tidak jarang dibarengi dengan mistis.  Contoh pada perikanan modern, bagaimana hunting purse seiner “around the ocean, by day, by weeks, even by month” hanya untuk mencari dan mengejar kumpulan-kumpulan ikan tuna yang sedang bermigrasi.

Di Indonesia penelitian-penelitian tentang keempat hal tersebut di atas terutama mengenai ikan-ikan yang hidup di kawasan perairan Indonesia boleh dikatakan masih langka.  Banyak data yang masih tersimpan di benak-benak para nelayan, para fishing master dan nakhoda kapal penangkap ikan bahkan perusahaan perikanan. Indonesia sudah mencoba suatu langkah yang didasarkan pada teknologi penginderaan jarak jauh (Indrajah, remote sensing) sehingga mampu memantau perubahan suhu dan kandungan klorofil di permukaan laut hampir diseluruh perairan Indonesia .  Namun demikian perlu diingat bahwa, teknologi ini didasarkan pada pendeteksian perubahan suhu permukaan dan pergerakan air laut, sehingga untuk menentukan suatu fishing ground diperlukan data pendukung utama, yaitu data (insitu) hasil tangkapan.  Data inilah yang sulit diperoleh selain untuk melakukan penelitian yang demikian memerlukan biaya yang tidak sedikit dimana kita (Indonesia) belum banyak memilikinya.   Data indrajah dapat diperoleh setiap saat, namun data hasil tangkapan kontinu dari waktu ke waktu pada fishing ground yang sama masih menjadi pertanyaan besar.    Secara nasional Indonesia (dalam hal ini Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan telah menerapkan Proyek Fishing Log Book) dimana data hasil tangkapan di berbagai tempat pendaratan ikan dan kapal-kapal penangkap “diharapkan” dapat dicatat.  Selain itu Indonesia telah lama mengenal teknologi pendeteksian bawah air (Underwater fish detection devices). Dari hanya untuk memperkirakan kedalaman perairan hingga sekarang dapat digunakan untuk memprediksi baik karakteristik  perairan maupun biotanya.  Data hasil pendeteksian fish finder diproses dengan menggunakan program analisis seperti EP 500 pada komputer PC sederhana, atau secara life video sehingga dapat diprediksi jumlah densitas per spesies dan ukuran per ekor, berdasarkan layer tertentu dari dasar laut hingga ke permukaan dan kawasan, bahkan kecepatan dan arah pergerakan (schooling maupun individu), berdasarkan ukuran layer.  Mungkin suatu saat berbagai upaya di atas akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu daerah penangkapan ikan tertentu pada waktu tertentu dan tersedia secara kontinu sekaligus “dapat dipahami dan mudah serta disukai” oleh para nelayan.

Berbicara mengenai fishing ground, tidak boleh terlepas dari berbagai kondisi perairan yang dinamis, kitapun harus memahami physical oceanography-nya, harus mengetahui kondisi dasar perairannya, dan lain sebagainya semua faktor alam yang mempengaruhi teknologi penangkapan ikan, seperti arus, angin, musim, gelombang, dll.).  Kondisi fisik daerah penangkapan akan sangat mempengaruhi Teknik Penangkapannya (fishing technique), Kapal Penangkap (fishing vessel), Disain Alat Penangkap Ikan (fishing gear design), Perlengkapan Kapal Penangkap Ikan (fishing equipment), Perlengkapan Komunikasi (communication equipment),  Perlengkapan Navigasi (navigational equipment), Kualifikasi dan kualitas SDM (fishing master, nakhoda, dan anak kapalnya), Biaya Operasional (bahan bakar, pelumas, bahan makanan, hak dan jaminan sosial bagi awak kapal seperti: gaji, premi, asuransi, sakit, bahkan keluarga yang ditinggalkannya), hingga manajemen.

Ikan pada umumnya adalah predator, yang besar memakan yang lebih kecil, yang paling kecil memakan crustacea, crustacea memakan plankton.  Sehingga pada salah satu mata rantai makannya adalah sangat tergantung dengan adanya unsur hara, chlorophyl dan sinar matahari menciptakan proses photosintesanya.

Indonesia memperoleh sinar matahari sepanjang tahun. Hampir seluruh pulau-pulau besar memiliki sungai yang mengalirkan “bahan unsur hara, yang belum terdekomposisi..??”, pada kenyatanya, dengan terjadinya penggundulan hutan, maka yang dialirkan adalah sampah hutan dan endapan lumpur.  Diperparah lagi dengan hampir punahnya hutan mangrove dimana terciptanya awal rantai makanan biota laut.  Dengan kata lain sebesar apapun ikan di samudra sana, makanannya berawal di mangrove.

Belajar dari phenomena ini maka terciptalah fish ground buatan.  Awalnya rumpon dibuat untuk menghasilkan unsur hara ditengah laut dari daun kelapa yang membusuk, kemudian terciptalah photosintesa, berlanjut dengan tumbuhnya phitoplankton, zoo plankton, berkumpul pula crustacea, dan biota laut tingkat tinggi yang berukuran makin besar dan makin besar akibat adanya sifat predator.

Kita mengenal dua jenis fish ground, pertama adalah fish ground alami, dan kedua adalah fisih ground buatan.  Fish ground alami adalah fish ground yang sudah ada di laut.  Sedangkan fish ground buatan adalah fish ground yang diciptakan oleh manusia yang dibuat semirip mungkin dengan fish ground alami, yang dikenal dengan rumpon (Fish Aggregate Devices; FAD).

Ditinjau dari konstruksi dan lokasi pemasangannya rumpon dibagi menjadi dua jenis, yaitu rumpon dangkal dan rumpon laut dalam. Dewasa ini, dengan diciptakannya alat pendeteksi bawah air (fish finder) yang cukup terjangkau harganya.  Rumpon tidak lagi dibuat untuk menciptakan rantai makanan, tapi rumpon dimanfaatkan sebagai attractor di fish ground yang telah diketahui melalui fish finder.

Ditinjau dari segi pengoperasiannya dibagi menjadi dua pula, yaitu rumpon tidak tetap (rumpon kenvensional yang berasal dari Tegal, Pekalongan, dan sekitarnya), dan rumpon tetap (rompong di Sulawesi dan payaos dari Filipina).  Sedangkan ditinjau dari segi bahan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1.    Rumpon yang terbuat dari bagian tumbuhan.

2.    Rumpon yang terbuat bukan tumbuhan

3.    Rumpon yang terbuat dari gabungan bagian tumbuhan dan bukan tumbuhan

Fishing ground buatan adalah suatu metoda bagaimana mengumpulkan ikan dengan menciptakan suasana atau lingkungan yang mirip dengan habitat asli dari jenis ikan yang hendak dikumpulkan. Pemilihan bahan untuk rumpon didasarkan pada penciptaan kondisi lingkungan tersebut.  Salah satunya untuk menciptakan rantai makanan.  Rantai makanan dibagi dalam dua proses.  Proses pertama menciptakan rantai makanan (food chain) yang akan menghasilkan kelimpahan zooplankton dan macronekton.  Proses kedua adalah menciptakan berlangsungnya hukum alam pada kehidupan ikan yaitu sifat predator (ikan besar memakan ikan yang kecil).  Pada proses yang kedua inilah yang diharapkan terjadi pengumpulan berbagai jenis dan ukuran ikan, dimulai dari ikan-ikan kecil hingga yang lebih besar secara bertahap.  Bila diperkirakan telah berkumpul ikan-ikan dalam jumlah yang banyak maka fungsi rumpon telah tercipta dengan baik.

1.1.        Rumpon Buatan dari Bagian Tumbuhan

Proses dekomposisi pada tumbuhan yang direndam di air bahari sampai membentuk makanan yang diperlukan melalui beberapa tahapan.

Tahap pertama:        Proses pembusukan (dekomposisi) tumbuhan (chlorophyll) akan menumbuhkan diatomeae.

Tahap kedua:           Melimpahkan diatom yang sangat diperlukan sebagai makanan bagi phytoplankton.

Tahap ketiga:           Terkonsentrasinya phytoplankton yang merupakan makanan utama bagi zooplankton.  (Phytoplankton dan zooplankton telah ada melimpah di seluruh lapisan perairan laut yang dapat cepat berkembang biak).

Setelah melimpahnya zooplankton maka akan mengundang ikan-ikan kecil untuk berkumpul dan memakannya.   Pada tahapan ini terjadilah proses kedua yaitu, penciptaan kondisi lingkungan  dimana ikan besar memakan ikan kecil.  Sekaligus memberikan perlindungan kepada ikan kecil untuk tidak dimakan secara langsung oleh ikan-ikan besar.   Sifat perlindungan rumpon terhadap ikan kecil ini ditujukan untuk memperpanjang waktu sehingga ikan-ikan dari berbagai jenis dan ukuran dapat lebih banyak berkumpul dalam jumlah yang besar.

Gambar 1. Rumpon buatan konvensional

Pelampung (antang)

Jangkar

Tanda (umbul)

Gambar 2.  Komponen rumpon konvensional

PERSYARATAN:

1.    Tumbuhan harus yang mengandung banyak chlorophyll dan segar (bukan kering).

2.    Harus dapat cepat membusuk dan tahan lama (sekitar 15 hari) atau lebih (beserat memanjang dan liat).

3.    Harus dapat menciptakan lingkungan yang teduh (untuk berlindung dari biota yang tingkatnya lebih tinggi dan sinar matahari langsung).

4.    Mudah diangkat, diperbaharui, dipindah dan murah harganya.

1.2.        Rumpon Buatan dari Bahan Bukan Tumbuhan

Proses pengumpulan ikan di rumpon sama dengan yang dijelaskan di atas, hanya saja ada perbedaan proses yang terjadi pada rumpon yang terbuat dari bahan bukan tumbuhan.  Rumpon yang terbuat dari tumbuhan tidak mampu bertahan lama (15 hari), sehingga diperlukan perbaikan, penambahan atau penggantian rumpon yang mengakibatkan pemborosan waktu, dan biaya yang berefek pada non efisiensi.   Proses siklus rantai makanan dan siklus kehidupan biota laut dari rumpon non tumbuhan (Gambar 113 – 115) adalah bersumber dari food chain dan coral life  cycle,  yaitu memberikan tempat tumbuh atau menempel biota karang sesuai dengan tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi dalam proses pembentukan lingkungan karang yang diupayakan untuk menciptakan habitat dari jenis ikan tertentu.

Rumpon bahari dalam dapat dipasang pada kedalaman antara 270 ? 3.700 m, dengan aneka macam disain mulai menurut pelampung bambu, drum, pontoon besi, pontoon alumunium, dan fiber glass.

Perkembangan FAD dengan berbagai keberhasilannya dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul dalam jumlah besar, telah mempengaruhi seluruh tingkat perikanan, tidak hanya perikanan artisanal atau subsistence, dapat meningkatkan hasil tangkap dan dapat melakukan penangkapan harian (one day fishing) juga  perikanan komersil dapat meningkatkan hasil tangkapannya dengan tajam, leisure fishing hampir setiap hari dapat menangkap ikan.

FAD juga dapat mengurangi konsumsi bahan bakar, dengan mengurangi waktu pencarian (searching time) ikan, ikan-ikan besar yang berada di bawah rumpon dapat ditangkap dengan hand line sementara kapal drifting (Shomura, et al., 1982).

Sumber:

Santoso. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon & Pemasangannya. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan & Perikanan BPSDMKP.

#Tag :