1. Potensi lamun
Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km2 yang dihuni oleh 13 jenis lamun. Suatu padang lamun dapat terdiri dari vegetasi tunggal yakni tersusun dari satu jenis lamun saja ataupun vegetasi campuran yang terdiri dari berbagai jenis lamun. Di setiap padang lamun hidup berbagai biota lainnya yang berasosiasi dengan lamun, yang keseluruhannya terkait dalam satu rangkaian fungsi ekosistem.
Lamun juga penting bagi perikanan, karena banyak jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting, hidup di lingkungan lamun. Lamun dapat befungsi sebagai tempat ikan berlindung, memijah dan mengasuh anakannya, dan sebagai tempat mencari makan. Selain ikan, beberapa biota lainnya yang mempunyai nilai ekonomi juga dapat dijumpai hidup di padang lamun seperti teripang, keong lola (Trochus), udang dan berbagai jenis kerang-kerangan. Beberapa hewan laut yang sekarang makin terancam dan telah dilindungi seperti duyung (dugong) dan penyu (terutama penyu hijau) makanannya terutama teridiri dari lamun. Lamun juga mempunyai hubungan interkoneksi dengan mangrove dan terumbu karang sehingga diantara ketiganya dapat terjadi saling pertukaran energi dan materi.
Dilihat dari aspek pertahanan pantai, padang lamun dengan akar-akarnya yang mencengkeram dasar laut dapat meredam gerusan gelombang laut hingga padang lamun dapat mengurangi dampak erosi. Padang lamun juga dapat menangkap sedimen hingga akan membantu menjaga kualitas air.
2. Gangguan dan ancaman terhadap lamun
Meskipun lamun sekarang diketahui memiliki poly manfaat, namun pada kenyataannya lamun menghadapi banyak sekali ganggujan dan ancaman. Gangguan & ancaman terhadap lamun pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan yakni gangguan alam & gangguan dari aktivitas manusia (antropogenik).
1) Gangguan alam
Fenomena alam seperti tsunami, letusan gunung api, siklon, dapat menimbulkan kerusakan pantai, termasuk juga terhadap padang lamun. Tsunami yang dipicu oleh gempa bawah laut dapat menimbulkan gelombang dahsyat yang menghantam dan memorak-perandakan lingkungan pantai, seperti terjadi dalam tsunami Aceh (2004). Gempa bumi, seperti gempa bumi Nias (2005) mengangkat sebagian dasar laut hingga terpapar ke atas permukaan dan menenggelamkan bagian lainnya lebih dalam. Debu letusan gunung api seperti letusan Gunung Tambora (1815) dan Krakatau (1883) menyelimuti perairan pantai sekitarnya dengan debu tebal, hingga melenyapkan padang lamun di sekitarnya.
Siklon tropis dapat menimbulkan banyak kerusakan pantai terutama di lintang 10 - 20o Lintang Utara maupun Selatan, seperti yang sering menerpa Filipina dan pantai utara Australia. Kerusakan padang lamun di pantai utara Australia karena diterjang siklon sering dilaporkan. Indonesia yang berlokasi tepat di sabuk katulistiwa, bebas dari jalur siklon, tetapi dapat menerima imbas dari siklon daerah lain. Siklon Lena (1993) di Samudra Hindia misalnya, lintasannya mendekati Timor dan menimbulkan kerusakan besar pada lingkungan pantai di Maumere.
Selain kerusakan fisik akibat aktivitas kebumian, kerusakan lamun karena aktivitas hayati dapat pula menimbulkan dampak negatif pada keberadaan lamun. Sekitar 10 – 15 % produksi lamun menjadi santapan hewan herbivor, yang kemudian masuk dalam jaringan makanan di laut. Di Indonesia, penyu hijau, beberapa jenis ikan, dan bulu babi, mengkonsumsi daun lamun. Duyung tidak saja memakan bagian dedaunannya tetapi juga sampai ke akar dan rimpangnya.
2) Gangguan dari aktivitas manusia
Pada dasarnya ada empat jenis kerusakan lingkungan perairan pantai yg disebabkan oleh kegiatan insan, yg sanggup menaruh imbas dalam lingkungan lamun:
1) Kerusakan fisik yang menyebabkan degradasi lingkungan, seperti penebangan mangrove, perusakan terumbu karang dan atau rusaknya habitat padang lamun;
2) Pencemaran laut, baik pencemaran asal darat, maupun dari kegiatan di laut;
3) Penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan;
4) Tangkap lebih, yakni eksploitasi sumberdaya secara berlebihan hingga meliwati kemampuan daya pulihnya
5) Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.
6) Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh sinar matahari).
7) Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak memupuk tambak).
8) Water polution (logam berat dan minyak).
a) Kerusakan fisik
Kerusakan fisik terhadap padang lamun sudah dilaporkan terjadi pada banyak sekali wilayah di Indonesia. Di Pulau Pari dan Teluk Banten, kerusakan padang lamun disebabkan oleh kegiatan perahu-perahu nelayan yang mengeruhkan perairan dan menghambat padang lamun. Reklamasi dan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan juga sudah melenyapkan sejumlah besar daerah padang lamun seperti terjadi di Teluk Banten. Di Teluk Kuta (Lombok) penduduk membongkar karang-karang dari padang lamun buat bahan konstruksi, atau buat membuka usaha budidaya rumput bahari. Demikian juga terjadi pada Teluk Lampung. Di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resor pariwisata pada pantai poly yang tidak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resor banyak mengorbankan padang lamun.
b. Pencemaran laut
Pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land based) ataupun dari kegiatan di laut (sea based). Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari berbagai kegiatan manusia di darat seperti limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, atau pengelolaan lahan yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan seperti pembalakan hutan yang menimbulkan erosi dan mengangkut sedimen ke laut. Bahan pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat sungai-sungai atau limpasan (runoff).
Masukan hara (terutama fosfat dan nitrat) ke perairan pantai dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan, yang mengakibatkan timbulnya ledakan populasi plankton (blooming) yang mengganggu pertumbuhan lamun. Epiffit yang hidup menempel di permukaan daun lamun juga dapat tumbuh kelewat subur dan menghambat pertumbuhan lamun. Kegiatan penambangan didarat, seperti tambang bauksit di Bintan, limbahnya terbawa ke pantai dan merusak padang lamun di depannya.
Pencemaran dari kegiatan di laut dapat terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut, baik dari kegiatan perkapalan dan pelabuhan, pemboran, debalasting muatan kapal tanker. Bencana yang amat besar terjadi saat kecelakaan tabrakan atau kandasnya kapal tanker yang menumpahkan muatan minyaknya ke perairan pantai, seperti kasus kandasnya supertanker Showa Maru yang merusak perairan pantai Kepuluan Riau.
c. Penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan
Beberapa indera tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan dapat menimbulkan kerusakan pada padang lamun misalnya pukat harimau yg mengeruk dasar laut. Penggunaan bom & racun sianida juga ditengarai menimbulkan kerusakan padang lamun. Di Lombok Timur dilaporkan kegiatan perikanan dengan bom & racun yg mengakibatkan berkurangnya kerapatan & luas tutupan lamun.
D. Tangkap lebih
Salah satu tekanan berat yang menimpa ekosistem padang lamun adalah tangkap lebih (over fishing), yakni eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan hingga melampaui kemampuan ekosistem untuk segera memulihkan diri. Tangkap lebih bisa terjadi pada ikan maupun hewan lain yang berasosiasi dengan lamun. Banyak jenis ikan lamun yang kini semakin sulit dicari, dan ukurannya pun semakin kecil. Demikian pula teripang pasir (Holothuria scabra), dan keong lola (Trochus) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sekarang sudah sangat sulit dijumpai dalam alam. Duyung yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada lamun kini telah menjadi hewan langka yang dilindungi, demikian pula dengan penyu, terutama penyu hijau.
B. Akar masalah pengelolaan
Merujuk pada gangguan atau kerusakan padang lamun seperti disebut di atas, maka perlulah diidentifikasi akar masalahnya. Pada dasarnya manusia tak dapat mengontrol dan mengelola fenomena alam seperti tsunami, gempa, siklon. Kita hanya bisa melakukan mitigasi atau penanggulangan akibat yang ditimbulkannya. Di samping itu alam juga mempunyai ketahanan (resilience) dan mekanismenya sendiri untuk memulihkan dirinya dari gangguan sampai batas tertentu.
Dalam pengelolaan padang lamun, yang terpenting adalah mengenali terlebih dahulu akar masalah rusaknya padang lamun yang pada dasarnya bersumber pada perilaku manusia yang merusaknya. Berdasarkan acuan tersebut maka akar masalah terjadinya kerusakan padang lamun dapat dikenali sebagai berikut:
1 Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang lamun dan perannya dalam lingkungan.
2 Kemiskinan masyarakat
3 Keserakahan mengeksploitasi sumberdaya laut;
4 Kebijakan pengelolaan yang tak jelas;
5 Kelemahan perundangan
6 Penegakan hukum yang lemah
C. Pengelolaan Ekosistem Lamun
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakaratak (Community Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masyakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah dekstrusi masyakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut.
D. Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam perencanaan pembangunan dalam suatu sistem ekologi pesisir dan bahari yang berimplikasi dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yg berlaku buat mengurangi akibat-dampak negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan & pengelolaan sumberdaya alam pesisir & bahari perlu dipertimbangkan secara cermat & terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup pada pesisir & bahari pada lingkungan pembangunan.
E. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah co-management (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan.
Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Pomeroy dan Williams, 1994). Dalam konsep Cooperative Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut.
Menurut Dahuri (2003) menyampaikan bahwa ada 2 komponen krusial keberhasilan pengelolaan berbasis rakyat, yaitu: (1) mufakat yg kentara dari 3 pelaku primer, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya), dan (2) pemahaman yang mendalam berdasarkan masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis rakyat.
Konsep pengelolaan berbasis warga mempunyai beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) sanggup mendorong timbulnya pemerataan pada pemanfaatan sumberdaya alam, (2) sanggup merefleksi kebutuhan-kebutuhan rakyat lokal yg spesifik, (3 )bisa menaikkan efisiensi secara ekologis & teknis, (4) responsif & adaptif terhadap perubahan syarat sosial & lingkungan lokal, (lima) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota warga yg terdapat, (6) sanggup menumbuhkan stabilitas & komitmen, dan (7) rakyat lokal termotivasi buat mengelola secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun dalam dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan insan agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana menggunakan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Jika dilihat pertarungan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yg menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun nir bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu sang beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh warga pesisir nir pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan sebagai obyek & tidak pernah sebagai subyek pada program-acara pembangunan pada daerahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung sebagai masa ndeso atau kesadaran & partisipasi mereka terhadap konflik lingkungan pada sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini nir mengalami kegagalan, maka warga pesisir wajib dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis rakyat ini, yg dimaksud dengan rakyat adalah semua komponen yang terlibat baik secara eksklusif maupun tak pribadi dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, antara lain merupakan rakyat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt bisa diartikan sebagai suatu taktik untuk mencapai pembangunan yg berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis rakyat, kedua komponen warga & pemerintah sama-sama diberdayakan, sebagai akibatnya tidak terdapat ketimpangan pada pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis rakyat wajib mampu memecahkan 2 persoalan primer, yaitu:
a) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern),
b) masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran).
F. Pendekatan Kebijakan
Perumusan kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan ini mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta merencanakan kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders (pemakai).
G. Rehabilitasi padang lamun
Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama dari aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan: yakni: 1) rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) , dan 2) rehabilitasi keras (hard rehabilitation).
1. Rehabilitasi lunak
Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan asumsi jika akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia.
Rehabilitasi lunak bisa mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Kebijakan dan strategi pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan diperlukan kebijakan dan strategi yang jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan oleh para pemangku kepentingan (stake holders).
b) Penyadaran masyarakat (Public awareness). Penyadaran masyarakat dapat dilaksanakan dengan berbagai pendekatan seperti:
1) Kampanye penyadaran lewat media elektronik (televisi, radio), ataupun lewat media cetak (koran, majalah, dll)
2) Penyebaran berbagai materi kampanye seperti: poster, sticker, flyer, booklet, dan lain-lain
3) Pengikut-sertaan tokoh masyarakat (seperti pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh wanita, seniman, dll) dalam penyebar-luasan bahan penyadaran.
c) Pendidikan. Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingnya melestarikan lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat jalur pendidikan formal dan non-formal
d) Pengembangan riset. Riset diperlukan untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk mendasari pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan.
e) Mata pencaharian alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang lebih sejahtera lebih mudah diajak untuk menghargai dan melindungi lingkungan.
f) Pengikut sertaan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan lingkungan dapat memberi motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin keberlanjutannya. Kegiatan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya merupakan bagian dari kegiatan ini.
g) Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary) berbasis masyarakat. Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL) merupakan bank sumberdaya yang dapat lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. DPPL berbasis masyrakat lebih menjamin keamanan dan keberlanjutan DPPL.
h) Peraturan perundangan. Pengembangan pengaturan perundangan perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan masyarakat luas. Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu dihargai dan dikembangkan.
i) Penegakan hukum secara konsisten. Segala peraturan perundangan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat ditegakkan secara konsisten. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum perlu diperkuat, termasuk lembaga-lembaga adat.
2 . Rehabilitasi keras
Rehabilitasi keras menyangkut aktivitas eksklusif perbaikan lingkungan di lapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya menggunakan rehabilitasi lingkungan atau menggunakan transplantasi lamun di lingkungan yg perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun belum berkembang luas pada Indonesia. Berbagai percobaan transpalantasi lamun telah dilaksanakan sang Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yg masih pada tingkat awal. Pengembangan transplantaasi lamun sudah dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai taraf keberhasilan.
Sumber:
Suharni dan Iman. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan & Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan & Perikanan BPSDMKP.
Checking your browser before accessingPlease enable Cookies and reload the page. This process is automatic. Your browser will redirect to your requested content shortly. Please allow up to 5 seconds… |